Zaman Kian Terbuka, Bolehkah Kita Membuka Aib Sesama?
Rasulullah Saw melarang sesama umat Islam untuk saling menyakiti
JAKARTA – Kini, setiap orang bisa dikatakan hampir seluruhnya atau paling tidak banyak yang memiliki rekam jejak digital baik itu cuitannya, komentarnya, foto, video atau unggahan terkait dirinya. Inilah era global yang begitu terbuka, sehingga hal yang dahulu dianggap privat kini walau tidak seluruhnya sedikit banyak bisa akses dan diketahui oleh warga internet atau netizen karena begitu mudah dan asyiknya seseorang tampil eksis di dunia maya.
Namun, tak jarang era keterbukaan ini dijadikan kesempatan bagi pihak yang tidak punya i’tikad baik untuk menjatuhkan martabat, merusak citra, menyebar aib hingga merendahkan pihak tertentu yang merupakan saudaranya sendiri.
Bahkan hingga menyebarkan finah dan adu domba yang bisa merusak keharmonisan dan kedamaian sesama anak bangsa, serta ketentraman sesama umat beragama.
Hal tersebut tak pelak biasanya diawali dari keinginan diri untuk mencari-cari cela dan kesalahan atau aib yang bisa jadi bersumber dari adanya kebencian atau kedengkian bisa juga permusuhan dan mencari keuntungan dengan mengorbankan saudaranya. Padahal Rasulullah Saw melarang sesama umat Islam untuk saling menyakiti dan membuka aib saudaranya.
Sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Umar ra, “Rasulullah Saw naik ke atas mimbar dan menyeru dengan suara keras, beliau Saw bersabda, “’Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya namun keimanan belum sampai ke dalam qalbunya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari-cari cela saudaranya sesama muslim, karena Allah akan mencari-cari celanya. Dan siapa yang dicari-cari kesalahannya oleh Allah, niscaya allah akan membongkar(aib)nya walau berada di dalam tempat tinggalnya (tersembunyi)’.” (HR. Tirmidzi).
Alangkah indahnya andai sesama saudara seagama, sebangsa dan setanah air bisa menahan diri dari godaan setan dan bujukan hawa nafsu yang mendorong untuk melakukan aneka perbuatan yang merugikan diri dan sesama yang diduga kuat karena keruhnya batin dan kotornya qalbu.
Inilah pentingnya kesadaran diri yang lahir dari kejernihan qalbu dan bersihnya jiwa. Kesadaran dan dorongan kebaikan yang timbul karena penyucian jiwa dan pembersihan qalbu, baik itu dengan berdzikir maupun berpikir serta melakukan latihan-latihan secara ruhani melalui bimbingan para guru mursyid yang auliya’ullah. Semoga Allah memberikan kita senantiasa hidayah dan taufik-Nya. Wallahu a’lam bisshawab.