Tajrid atau Asbab, Anda Yang Mana?

Manusia pada dasarnya ada dua jenis; ada manusia langit dan manusia bumi

Terdapat hal yang menarik di dalam kitab al Hikam karangan Syekh Ibnu Atha’illah pada poin yang kedua yang bunyinya:

إِرَادَتُــكَ الـتَّجْرِيْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِيَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَةِ الْخَفِـيـَّةِ
وَإِرَادَتُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ

“Kehendakmu untuk tajrid (mengisolir diri, fokus beribadah tanpa berusaha mencari dunia), padahal Allah masih menempatkanmu pada asbab (harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari), itu termasuk syahwat atau nafsu yang samar atau tersembunyi. Sebaliknya, kehendakmu untuk asbab (berusaha) padahal Allah telah menempatkan dirimu pada tajrid, maka demikian itu berarti suatu bentuk kemerosotan kelas.”

Hendaknya orang yang sudah mencapai makrifat kepada Allah mau menerima apapun yang ditentukan oleh Allah baik (tingkatan) usaha atau lainnya. Manusia pada dasarnya ada dua jenis; ada manusia langit dan manusia bumi.

Manusia langit adalah manusia yang maqam atau posisinya adalah hanya berfokus kepada ibadah (ritual) tanpa berusaha mencari dunia, sebagai pertapa yang menjaga kesucian diri. Orang yang maqamnya seperti ini, tak akan memiliki passion atau kesenangan untuk terlibat dalam aktivitas sosial. Orang seperti ini oleh kalangan sufi disebut sebagai orang bermaqam tajrid.

Sebaliknya, ada orang yang maqamnya adalah manusia bumi. Tugas manusia seperti ini adalah berusaha untuk menghidupkan dirinya dengan bekerja dan ikhtiar, hidup di tengah kehidupan sosial yang ramai, dan penuh gelora perjuangan. Ia tak cocok untuk kehidupan kontemplatif seperti yang dijalani oleh golongan pertama.

Ibnu ‘Atha’illah mempunyai istilah khusus untuk menerjemahkan manusia kedua ini, yaitu manusia-sebab (asbab), men/women of causes, yakni manusia yang tugasnya adalah berurusan dengan usaha yang melibatkan hukum sebab-akibat.

Masing-masing orang harus hidup sesuai maqamnya. Orang yang semestinya bekerja tetapi menjalani kehidupan kontemplatif atau tidak bekerja, ia sebetulnya tidak menjalani kehidupan yang mulia. Ia hanya mengikuti nafsu amarahnya sendiri. Cuma, ini hawa nafsu yang lembut, tersembunyi. Bukan hawa nafsu yang terang-terangan seperti menghendaki kemewahan material.

Sebaliknya, ia yang mestinya ada di maqam “manusia langit”, tetapi ikut-ikutan terjun ke kehidupan asbab (berusaha dengan bekerja untuk mendapatkan rezeki misalnya), maka ia mengalami kemerosotan kelas.

Suatu hari, ada seseorang yang hendak menjalani kehidupan meditatif, menjadi sufi, lalu mendatangi sufi besar Mesir asal Murcia, Spanyol, Abu al-Abbas al-Mursi. Sebelum ia mengatakan maksud kedatangannya, Syekh Mursi langsung mendahului pembicaraannya.

Beberapa hari sebelumnya kata Syekh Mursi, ada seorang ahli ilmu-ilmu lahir (ilmu syari’ah) datang kepadaku. Ia sudah sedikit mencicipi ilmu batin, lalu memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai guru ilmu-ilmu lahir.

Lalu aku berkata kepadanya “bukan begitu caranya”. Tetaplah kamu dalam posisi yang telah diberikan Tuhan kepadamu. Pengalaman spiritual yang kamu miliki akan bisa kamu capai dengan jalan yang kamu tempuh sekarang ini.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibnu ‘Atha’illah ini? ialah bahwa masing-masing orang memiliki kelasnya masing-masing. Jika berpindah kelasnya atau maqamnya maka terkena oleh tipu daya setan.

Meskipun ini terlihat sulit untuk menentukan berada di maqam yang manakah diri ini. Mudahnya itu jika ada orang yang setiap harinya di rumah terus kemudian rezeki itu datang dengan sendirinya tanpa orang tersebut bekerja maka itu di kategorikan maqam tajrid. Sedangkan jika ada orang yang harus bekerja terlebih dahulu baru mendapatkan rezekinya maka ini dinamakan maqam asbab.

Kondisi ini ketika dalam keadaan normal bukan seperti pandemik covid-19 saat ini. Kebanyakan orang terdapat di maqam asbab hanya orang-orang tertentu dan terpilih saja yang berada di maqam tajrid. Kedua maqam tersebut sama bagusnya sebagaimana kisah ulama di atas.

Sejatinya setiap orang tahu dalam hatinya yang terdalam. Ada di maqam mana dia. Orang tak boleh iri pada maqam orang lain. Masing-masing orang, seperti dikatakan Wali besar Syekh Abu al-Abbas al-Mursi itu, akan mencapai pengalaman kebahagiaan dan ketenangan batin melalui jalan dan maqam yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.

Dengan kata lain, kebahagiaan bisa kita peroleh jika kita hidup sesuai dengan “The Real Self”, hakikat diri kita masing-masing. You are going to be happy when your become Who You Are.

Setidaknya, kita dapat memetik 3 buah pelajaran penting:

  1. Setiap orang memiliki maqam atau tempat bagi manusia dalam hidup ini. Ada maqam “Tajrid”, artinya maqam menyendiri di rumah atau suatu tempat, melakukan ibadah, kontemplasi, melakukan riset di suatu tempat yang sunyi, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunyi. Ada maqam “Asbab”, yaitu adanya sebab-akibat, hidup di tengah masyarakat, membangun masyarakat dan kehidupan ramai.
  2. Orang yang maqamnya ada di maqam “Tajrid”, tiba-tiba ingin pindah dalam maqam “asbab”, maka itu adalah tindakan menurunkan kelas. Sebaliknya, orang yang maqamnya “asbab” tetapi ingin ikut di maqam “Tajrid”, maka itu adalah tindakan orang malas.
  3. Orang akan bahagia jika hidup sesuai dengan maqamnya. Orang yang hidup tak sesuai maqamnya biasanya akan resah dan sengsara.
Baca Lainnya
Komentar
Loading...