Syekh Syamsuddin al-Sumatrani dan Martabat Tujuh
Ulama besar yang hidup di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17
Ini satu lagi ulama sufi klasik Nusantara yang masyhur pada masanya, Syekh Syamsuddin al-Sumatrani. Ulama besar yang hidup di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.
Ia merupakan pemuka tasawwuf penganut paham wahdatul wujud atau wujudiyah, satu pemahaman dengan Hamzah Fansuri yang juga merupakan salah satu gurunya.
Semasa hidupnya, Syekh Syamsuddin memiliki posisi strategis di mata sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607-1639 M), bahkan konon posisinya dianggap lebih tinggi ketimbang jabatan Qadhi al-malik al-adil di kesultanan.
Gelar Syekh Syamsuddin kala itu adalah “Syekh al-Islam”, merupakan gelar tertinggi bagi ulama, qadhi, imam, atau penasihat raja. Ia juga merupakan tim perundingan dan juru bicara Kerajaan Aceh Darussalam.
Syekh Syamsuddin juga merupakan seorang penulis yang produktif pada masa itu. Ia menulis sejumlah karya monumental, diantaranya: Jawhar al-Haqa’iq, Risalat Tubayyin Mulahazat al-Muwahhidin fi dzikr Allah, Mir’at al-Mu’minin, Syarh Ruba’I Hamzah Fansuir, Nur al-Daqa’iq, Thariq al-Salikin, Mir’at al-Iman, Kitab al-Harakah dan Dzikr Da’irat Qawsany al-Adna.
Syekh Syamsuddin sebagaimana gurunya, Hamzah Fansuri, juga termasuk ulama sufi yang dikecam dan dianggap sesat ajarannya oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri, terutama terkait paham wujudiyah-nya. Ar-Raniri sendiri sebetulnya merupakan ulama sufi (tarekat Rifa’iyah) yang ajarannya juga merujuk, salah satunya, kepada Ibnu Arabi, pembawa paham wujudiyah.
Belum ada penelitian yang menemukan titik terang terkait kenapa terjadi seteru pemahaman para ulama sufi dan pengikutnya tersebut, kendati ada yang menduga disebabkan oleh faktor politik pada masa itu.