Said Nursi: Ulama Sufi yang Melawan Sekularisme

Sufi justru seharusnya terlibat aktif dalam perubahan sosial

Tidak benar anggapan, seorang sufi selalu berada jauh dari masalah dunia, menepi ke pinggir hutan, menghindari khalayak, khusyuk dan asyik sendiri dengan Tuhan tanpa memikirkan masyarakatnya. Sufi justru seharusnya terlibat aktif dalam perubahan sosial, bahkan ketika harus mengangkat senjata sekalipun untuk melawan kezaliman.

Begitulah yang dilakukan Bediuzzaman Said Nursi, ulama sufi Turki yang dikenal karena menentang sekularisme di negaranya.

Di Indonesia nama Nursi mungkin tidak sepopuler ulama-ulama lain, tapi salah satu karyanya “Risalah Nur”, cukup sering dikaji di pondok-pondok pesantren di Tanah Air.

Nursi adalah ulama sufi, sekaligus pelopor pergerakan Islam di negara Turki Modern. Ia, beserta ulama Turki lain, yang pertama kali melawan serta berkonfrontasi dengan negara sekuler Turki pasca runtuhnya Dinasti Turki Utsmani.

Selama hidupnya, Nursi telah dipenjara kurang lebih 28 tahun dan diasingkan sebanyak 21 kali. Kebanyakan buku karangannya ditulis dari dalam penjara atau pengasingan. Kini, karya-karya itu tidak hanya tersebar di Turki tapi juga di seluruh dunia.

Nursi tidak berhenti setelah ia menguasai ilmu-ilmu keislaman tradisional, seperti ilmu Alquran, fiqih, hingga tasawuf. Ia terus mendalami pendidikan lanjutan di bidang filsafat, mistisisme, sejarah, matematika, hingga fisika.

Ilmu-ilmu modern itulah yang kemudian membuka cakrawala intelektualnya terhadap bahaya pemikiran sekuler Barat. Ini pula yang mendorongnya untuk tidak hanya menentang sistem pendidikan sekuler di Turki kala itu, tapi juga mengimbau agar para pemimpin politik dan agama di negerinya mereformasi kurikulum pendidikan agama.

Angkat Senjata

Nursi terlibat aktif dalam soal-soal sosial dan politik di masa Kekhalifahan Turki Usmani sebelum keruntuhannya.

Dia ikut dalam perang melawan Rusia di garis depan Kaukasia dan sempat tertangkap oleh pasukan Rusia lalu menghabiskan waktu selama dua tahun sebagai tawanan perang di Rusia.

Tahun 1918, Nursi lolos dan kembali ke Istanbul lewat Wina. Di pinggiran kota Istanbul, ia berziarah ke makam Abu Ayub al-Anshari, salah seorang sahabat Nabi Saw.

Ia mengasingkan diri secara spiritual di dekat makam itu, sampai kemudian mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan. Di sanalah Nursi kembali mempelajari Alquran secara lebih mendalam, membuka lagi “Futuh al-Ghaib” (Menyingkap Alam Gaib) karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan “Maktubat” (Surat-surat) karangan Imam Rabbani Syekh Ahmad Sirhindi.

Sesudah itu, Alquran menjadi sumber utama bimbingan dan pencerahan spiritual baginya. Nursi menggunakan pendekatan ilmiah dalam menafsirkan Alquran. Ia melakukan itu untuk melawan sekularisme Turki yang juga berbasis pada modernitas.

Pergerakan Nursi melawan sekularisme sebetulnya sudah dimulai saat Turki Utsmani memberlakukan konstitusi kedua pada masa kekuasaan Sultan Mahmud II, dimana saat itu sudah muncul kelompok-kelompok yang berusaha mengkritik kesultanan, utamanya terhadap konsep kebebasan, akibat semakin kuatnya pengaruh Barat terhadap Turki.

Nursi mendorong agar nilai-nilai Islam tetap diterapkan dan jangan sampai menyalah artikan makna kebebasan. Langkah tersebut dia tempuh sebab dia merasa ada pihak-pihak yang memanfaatkan perubahan konstitusi di negaranya itu untuk melawan Islam.

Menentang Sekularisme

Gerakan Nursi dikenal sebagai Gerakan Nursiyah, yaitu sebuah gerakan keagamaan yang pembentukannya lebih mengutamakan pendekatan hakikat iman dan amal berdasarkan Alquran dan Sunnah.

Tujuannya, untuk memperbaharui arus perkembangan Islam serta membendung ekspansi sekularisme Kemal Attaturk setelah jatuhnya Khilafah Utsmani.

Awalnya, gerakan ini hanya mengurusi pendidikan dan dakwah, tapi lantaran kondisi sosial politik yang dikhawatirkan bisa membuat penyimpangan ideologi Islam dengan berkembangnya ateisme dan materialisme yang dimasukkan dunia Eropa, maka membuat gerakan ini menjadi bersifat politis.

Tapi akibatnya, ketika pemerintahan Turki berganti menjadi republik di bawah kekuasaan Attaturk, Nursi diasingkan ke Barla, sebuah bukit perkampungan di bagian barat Turki. Ia pun dijauhkan dari aktivitas politik.

Namun pada pemilu Turki tahun 1950, Nursi kembali berpolitik walaupun secara tidak langsung. Ia dan murid-muridnya memberikan dukungan kepada Partai Demokrat saat itu dengan alasan partai tersebut akan memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk beraktivitas.

Dengan kemenangan Demokrat, Nursi kembali memiliki kebebasan dalam berdakwah, meskipun tetap diasingkan dan karyanya “Risalah Nur” tetap dianggap oleh pemerintah sebagai ancaman.

Meski begitu, dia dan pengikutnya terus berusaha menulis dan menyebarkan ajaran-ajaran “Risalah” Nur sampai akhir hayatnya.

Nursi meninggal di pengasingan pada pagi hari tanggal 23 Maret 1960, karena kondisi kesehatannya memburuk.

Riwayat Hidup

Said Nursi lahir pada tahun 1290 H/1873 M di sebuah kampung bernama Nurs, dekat Van Golu di daerah Bitlis, Turki.

Keluarganya adalah suku Kurdi. Ayahnya bernama Mizan, seorang sufi Naqsyabandi dan ibunya Nuriye, berasal dari Bilkan.

Nursi mulai belajar Alquran saat remaja dari kakaknya, Abdullah. Ia mempelajari ilmu-ilmu agama dasar di kota Beyazid setelah sebelumnya mempelajari buku-buku tata bahasa dan sintaksis Arab.

Pada saat usianya 18 tahun, ia memfokuskan dirinya mengkaji ilmu-ilmu agama dan logika. Nursi mempelajari ilmu-ilmu keislaman di bawah bimbingan para ulama terkemuka, seperti Syekh Mehmed Celali dan Syekh Mehmed Emin Efendi.

Atas berbagai pencapaiannya di bidang ilmu pengetahuan, Syekh Mehmed Emin Efendi memberikan sebutan Bediuzzaman kepada Said Nursi yang berarti “keajaiban zaman”.

Pengaruh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Dalam buku “100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah”, (2008) disebutkan bahwa sejak kecil, Said Nursi tertarik kepada sufisme dan ajaran-ajaran pendiri tarekat Qadiriyyah yang berpengaruh, Abdul Qadir Al-Jailani.

Hubungan spiritual dan kasih sayangnya terhadap Syeikh Al-Jailani terus menumbuh dari hari ke hari. Bahkan dia mengaku telah “dibimbing” oleh syekh sufi yang mulia itu, ketika melakoni masa-masa paling bergolak dalam kehidupannya.

Baca Lainnya
Komentar
Loading...