Relasi Muhammadiyah dan Negara di Bawah Kepemimpinan 4 Guru Besar
Muhammadiyah terlahir untuk mengurus kehidupan sosial dan keagamaan
Sedangkan, menurut Deni, Prof. A. Syafii Maarif, menempatkan relasi Muhammadiyah dengan negara lebih akomodatif-kritis. Dalam arti satu waktu, Muhammadiyah memberikan kritik dan pressure, namun di sisi lain, juga akomodatif terhadap negara.
Sebab, Prof. A. Syafii Maarif meyakini, bahwa Muhammadiyah terlahir bukan disiapkan untuk mengurus negara. Melainkan untuk mengurus kehidupan sosial dan keagamaan yang bersifat kultural.
Selanjutnya, Prof. Din Syamsuddin pun tidak jauh berbeda dengan pandahulunya. Deni melihat mantan Ketum MUI ini juga cenderung menempatkan relasi negara dan Muhammadiyah, sebagai relasi kritis – konstruktif. Sehingga Muhammadiyah lebih diposisikan sebagai gerakan penyeimbang (balancing) bagi kekuatan negara.
Bagi Prof. Din Syamsuddin, Muhammadiyah bukan saja perlu menjaga jarak yang sama dengan politik, namun juga perlu menjaga kedekatan yang sama dengan semua kekuatan politik. Sebab ada saatnya kritik harus dilakukan dan ada saatnya Muhammadiyah harus menerima jika itu diangap baik bagi bangsa.
Yang terkini, Prof Haedar Nashir, walaupun sedikit berbeda dari pemimpin sebelumnya. Di tangan beliaulah, kata Deni, tradisi kepemimpinan Muhammadiyah dalam membangun relasi dengan negara, diramu dengan baik.
Prof. Haedar Nashir dinilai mampu meramu 3 pendekatan sebelummya, dengan model relasi yang bersifat kritis-konstruktif-akomodatif. Hanya saja, Prof. Haedar Nashir memiliki gaya tersendiri.
Bagi Haedar, membangun bukan dengan cara merusak, mengingatkan bukan dengan cara menjaga jarak, meluruskan bukan dengan cara membuat kegaduhan.
Selain menjalin komunikasi secara langsung dan resmi dalam menyampaikan kritik, Prof Haedar juga tidak jarang, melakukan kritik dengan gaya yang lebih teduh, santun tapi tajam.