Relasi Muhammadiyah dan Negara di Bawah Kepemimpinan 4 Guru Besar
Muhammadiyah terlahir untuk mengurus kehidupan sosial dan keagamaan
Sebagai salah satu ormas Islam terbesar dan tertua di Indonesia, Muhammadiyah sudah menjalani 15 masa kepemimpinan sejak lahir di tahun 1912. Mulai dari masa KH. Ahmad Dahlan hingga sekarang ini di bawah pimpinan Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si.
Direktur Suara Muhammadiyah Deni al Asyari melihat ada yang menarik dari rangkaian estafet kepemimpinan organisasi ini. Menurutnya, sejak pergantian kepemimpinan Muhammadiyah yang ke-11 yakni dari Bapak KH Ahmad Azhar Basyir (1994), Muhammadiyah secara bergantian dipimpin oleh Profesor (akademisi).
Mulai dari Prof. Amien Rais (1995), Prof. A. Syafii Maarif (1998), Prof. Din Syamsuddin (2005), hingga Prof. Haedar Nashir (2015). Keempatnya berlatar belakang guru besar dari masing-masing kampus yang berbeda.
Dalam relasi Muhammadiyah dan negara, Deni melihat kepemimpinan Muhammadiyah di bawah empat guru besar ini memiliki corak, gaya dan irama yang berbeda.
Walau secara substansi, kata Deni, sesungguhnya sama. Karena, Muhammadiyah dalam tindakan dan kebijakannya, tidak lepas dari khittah perjuangan dan pedoman hidup Islami dalam berorganisasi.
Di bawah kepemimpian Prof Amien Rais, relasi Muhammadiyah dan Negara cenderung bersifat oposisi biner. Artinya meletakkan Muhammadiyah sebagai kekuatan Civil Society dalam memperkuat demokrasi.
Walhasil, tidak heran jika sejak dulu hingga saat sekarang, Prof. Amin Rais tidak pernah absen dari mengkritik pemerintah (rezim) yang berkuasa.
Kendatipun rezim itu didukung oleh beliau langsung. Maka tanpa kontrol yang kritis, negara bisa saja salah arah. Maka Muhammadiyah sebagai kelompok Civil Society sangat penting menunjukkan konsistensi mengawal jalannya pemerintahan.