Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah adalah perempuan inspiratif yang berani melakukan perlawanan. Tidak saja perlawanan secara sikap terhadap kejumudan dan dominasi kaum lelaki, tapi juga perlawanan fisik terhadap kolonialisme Belanda.
Rahmah El Yunusiyah merupakan pelopor Perguruan Muslim Sumatera Barat. Sejak kecil, sikap keras hatinya sudah ditampakan. Dia tak suka jika perempuan meminta bantuan sebelum melakukan usaha terlebih dulu.
Sewaktu kecil, saat keinginannya ditolak sang ibunda, Rahmah akan protes dan menangis sepanjang hari. Ia dikenal, jika sudah punya keinginan akan memperjuangkan keinginannya hingga terwujud.
Rahmah dikenal sebagai “Kartini dari Sumatera Barat”, perempuan reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini memiliki lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Sewaktu era Revolusi, ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padangpanjang dan menjamin perbekalan serta membantu pengadaan persenjataan.
Tak heran jika Rahmah El Yunusiyah memiliki elan perlawanan yang tinggi terhadap penindasan dan kejumudan. Ia terlahir dari keluarga ulama yang progresif. Kakeknya Imanudin, seorang ahli ilmu falak dan pemimpin tarekat Naqsyabandiah di Minangkabau.
Ayahnya, Syekh Muhammad Yunus, adalah seorang qadi di Pandai Sikat. Rahmah tidak pernah mengalami didikan langsung sang ayah, karena meninggal saat ia masih kecil.
Ibunya dan kakaknya Zainuddin Labay El Yunusy yang mendidiknya dan mengajarkan banyak hal. Sang kakak merupakan ulama muda revolusioner yang berjasa mengubah sistem pendidikan sekolah agama menjadi pendidikan modern yang diperuntukkan bagi laki-laki maupun perempuan. Konon, sekolah sang kakak ini adalah sekolah Islam pertama di Indonesia yang membolehkan perempuan dan lelaki bersekolah di tempat yang sama.
Setelah Menikah Muda dan Bercerai
Rahmah menikah di usia belia, 15 tahun. Namun ketika sang suami berniat poligami dan meminta izin padanya, Rahmah menolak meski tidak secara langsung. Perceraian pun tak terhindarkan.
Setelah peristiwa itu, Rahmah sangat aktif dalam pergerakan perempuan dan perjuangan pendidikan di Sumatera. Ia memimpin rapat-rapat kaum ibu di Padangpanjang sehingga pernah ditangkap Belanda dan dihukum denda 100 gulden dengan tuduhan membicarakan masalah politik serta menjadi anggota pengurus Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS).
Pada 1935, Rahmah pernah mewakili perempuan Sumatera datang ke Kongres Perempuan di Bandung.
Ia berpandangan bahwa perjuangan meningkatkan derajat kaum perempuan harus dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri. Ia dibantu sang kakak kemudian mendirikan Diniyah Putri School Padangpanjang pada tahun 1923.
Diniyah Putri School ini kelak menginspirasi Universitas Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Lil Banat, fakultas yang dikhususkan bagi perempuan. Rahmah pun mendapat gelar kehormatan “Syekhah” dari Universitas Al-Azhar, Cairo.
Tahun 1924, sang kakak Zainuddin wafat. Rahmah melanjutkan perjuangan seorang diri. Ia teguh memegang prinsip bahwa perempuan harus mampu berupaya sendiri. Karena prinsip itulah ia menolak mentah-mentah tawaran subsidi dari pemerintah Hindia Belanda untuk pendirian sekolahnya yang sedang kekurangan dana.
Ia termasuk kelompok yang non kooperatif dengan Belanda. Rahmah memilih melawan ketimbang bekerja sama.
Sejumlah bantuan dari pihak lain, secara halus ditolaknya karena ia berprinsip selama masih bisa diupayakan sendiri, ia tidak akan merepotkan orang lain.
Rahmah mengumpulkan dana dari ceramah-ceramahnya di berbagai kota, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Semenenanjung Melayu pada tahun 1926. Usahanya pun berhasil. Sekolahnya semakin berkembang bahkan ia bisa mendirikan sekolah di Batavia saat itu.
Sikapnya yang keras, membuat Rahmah ditangkap tentara Belanda karena ketahuan hadir di tengah laskar. Ia ditangkap di persembunyiannya di Gunung Singgalang pada 7 Januari 1949 lalu ditahan selama 9 bulan.
Pada pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tapi kemudian ia tidak pernah menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Rahmah lahir di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang pada 26 Oktober 1900, dan wafat di Padangpanjang dalam usia 68 tahun.
Pemerintah Indonesia menganugerahinya sebuah tanda kehormatan “Bintang Mahaputra Adipradana” secara anumerta pada tahun 2013.