Perlukah UU Atur Cinta Suami-Istri?
RUU Ketahanan Keluarga saat ini tengah menjadi polemik
Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga saat ini tengah menjadi polemik. Sejumlah pasal dalam RUU tersebut mengatur berbagai hal bersifat subyektif dan pribadi. Seperti soal kewajiban saling mencintai antara suami-istri. Perlukan soal perasaan cinta diatur secara khusus oleh undang-undang?
Apakah kalau suami tidak mencintai istri atau sebaliknya, bisa dilaporkan, dan kemudian bisa dipenjarakan?
Misalnya pada Pasal 24 ayat (1) RUU tersebut yang menyebutkan bahwa suami-istri punya kewajiban untuk menegakkan rumah tangga dan membina harmonisasi keluarga. Ayat berikutnya, suami-istri diwajibkan untuk saling mencintai.
“Setiap suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah wajib saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain,” demikian bunyi ayat tersebut.
RUU kini memicu polemik di tengah masyarakat. Aturan-aturannya dinilai terlalu mengatur soal moral dan kehidupan pribadi warga negara.
Islam mengajarkan cinta suami-istri
Umar bin Khattab r.a. mengatakan, “Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tetapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu.”
Ulama besar syekh Sayyid Quthub juga pernah mengatakan begini, “Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos ketika berbaring di pangkuan ibuku dan istriku.”
Islam mengajarkan bahwa sejatinya mencintai istri adalah fitrah dan sebuah keharusan. Tanpa negara harus mengaturnya sebagai kewajiban pun, agama sudah mengajarkan, dan Rasulullah Saw sendiri serta para ulama sudah banyak memberikan teladan perihal sikap antara suami dan istri.