Panic Buying dan Hukum Penimbun Barang
Panic buying menimbulkan efek negatif bagi perekonomian
Fenomena panic buying atau membeli barang-barang kebutuhan dalam jumlah besar merebak di sejumlah negara, termasuk di Indonesia.
Masyarakat takut karena merebaknya wabah virus korona yang bakal membuat mereka terisolasi, sebagaimana yang terjadi di kota Wuhan, sumber virus korona, yang mengalami lockdown.
Panic buying menimbulkan efek negatif bagi perekonomian. Kelangkaan barang-barang kebutuhan utama terjadi di pasaran, sehingga harganya melonjak tinggi.
Situasi ini dimanfaatkan oleh segelintir oknum pedagang untuk menimbun barang kebutuhan tersebut.
Ihtiqar adalah istilah dalam hukum Islam sebagai sebutan bagi pedagang atau pebisnis penimbun barang. Dalam kasus virus korona, barang-barang seperti masker, hand sanitizer, menjadi langka di pasaran.
Bahkan harga jahe merah dan temulawak pun melonjak drastis karena dipercaya bisa menangkal virus tersebut. Barang tiba-tiba langka di pasaran.
Menimbun barang dalam situasi masyarakat yang panik jelas merupakan perbuatan yang merugikan. Pelakunya pantas ditindak.
Lalu bagaimana Islam menyikapi para oknum pedagang semacam ini?
Mereka adalah orang-orang yang hanya memikirkan keuntungan pribadi di tengah musibah yang sedang terjadi. Dari sisi kemanusiaan, perbuatan ini jelas kejahatan.
Ulama mendefinisakan ihtikar (penimbunan) sebagai orang yang membeli barang ketika harga-harga mahal, lalu menyimpannya sehingga terjadi kelangkaan stok di pasaran. Dengan begitu otomatis permintaan tinggi yang membuat harga melonjak.
Penimbun lalu menjual barang yang ditahannya itu ketika harga telah melonjak. Perbuatannya ini tentu saja merusak mekanisme pasar.
Dalam prinsip Islam ini adalah bentuk kezaliman, bertentangan dengan tujuan dari perdagangan itu sendiri.