Pada 1930-an China mengirimkan para pemuda muslim untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Muhammad Ma Jian adalah salah satunya. Setelah pulang ke negerinya, “geng” Al-Azhar ini ditakdirkan memainkan peran penting dalam sejarah Islam moderen di negeri komunis itu.
Mereka tidak saja menjadi pemimpin intelektual, tapi juga pemimpin politik yang di kemudian hari membantu Cina menjalin hubungan erat dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah. Mereka juga meninggalkan warisan budaya yang amat berharga, termasuk terjemahan teks-teks penting tentang keislaman dan budaya China.
Ma Jian sendiri, ketika kembali ke China menjadi sosok intelektual Muslim yang dihormati. Tidak hanya itu, ia juga aktif secara politik sepanjang karirnya di negara kelahirannya. Pasca kemenangan Komunis dan pendirian Republik Rakyat China (RRC), Ma Jian terpilih menjadi anggota Konferensi Konsultatif Politik China (CPCC), tepatnya pada tahun 1949.
Dengan keterampilan bahasa Arab yang mumpuni, Ma Jian kerap diminta oleh para pemimpin China, dari mulai Mao Zedong, Zhou Enlai, hingga Liu Shaoqi untuk menjadi penerjemah pada berbagai pertemuan dengan para pemimpin negara-negara Arab.
Selain intelektual, Ma Jian juga sosok politisi yang matang. Meski terjadi pergolakan politik di era Maois, ia terbukti mampu mempertahankan posisinya sebagai wakil CPCC sekaligus sebagai profesor di Universitas Peking hingga wafat di tahun 1976. Ia mengkader banyak generasi Muslim di China terutama dalam bidang bahasa Arab.

Penerjemah Alquran Bahasa China
Sebagai intelektual Muslim, Ma Jian berjasa besar terhadap perkembangan Islam moderen di China. Ia menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa China dan terjemahannya diakui secara resmi oleh pemerintah China hingga sekarang.
Tidak saja terhadap Islam, Ma Jian juga berjasa besar bagi negerinya. Ia berperan penting dalam diplomasi China dengan negara-negara muslim, khususnya pada saat negara komunis itu membutuhkan dukungan politik saat menghadapi perang besar kedua dengan Jepang.
Selama kuliah di Kairo, Ma Jian dan geng Al-Azharnya bergaul dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Kelompok ini sempat menerbitkan buku Ma Jian pada tahun 1934, yaitu buku tentang Tinjauan Sejarah Islam di Tiongkok dan Kondisi Muslim di dalamnya. Buku ini adalah buku pertama yang lumayan representatif tentang sejarah panjang muslim China yang ditulis dalam bahasa Arab.
Setahun kemudian, Ma Jian menerjemahkan buku Analisis Konfusianisme ke dalam bahasa Arab. Buku ini memberi kesempatan bagi sarjana Timur Tengah untuk mengenal sumber penting tradisi Tiongkok ini.
Ma Jian juga menerjemahkan Risalat al-Tauhid dan Tafsir al-Manar, keduanya ditulis oleh Muhammad Abduh, meskipun buku terakhir diselesaikan oleh muridnya Rashid Rida, yang juga merupakan kolega Ma Jian di Kairo.
Ma Jian kembali ke China pada tahun 1939, dan melanjutkan karir intelektualnya dengan menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa China, yang pada awalnya dibantu oleh kolega Chinanya, Ha Decheng sebelum ia meninggal dunia pada 1943.
Pada tahun 1946, Ma Jian menjadi profesor studi Arab dan Islam di Departemen Bahasa dan Sastra Oriental Universitas Peking, universitas negeri China pertama yang memperkenalkan jurusan bahasa Arab. Upaya keras Ma Jian, membuat bahasa Arab di China dipelajari secara terbuka, dimana sebelumnya hanya dipelajari kelompok Muslim saja.
Muhammad Ma Jian membuktikan bahwa para sarjana Muslim, khususnya geng Al-Azhar memiliki peran yang penting dalam diplomasi China dengan negara-negara Muslim Timur Tengah khususnya saat China berkonfrontasi dengan Jepang.
Terlepas dari kewarganegaraan mereka pasca-1949, atau setelah berdirinya Taiwan, geng Al-Azhar tetap setia pada visi yang sama, yaitu tentang Islam-China moderen. Mereka belajar dari gerakan “Kemurnian Arab” di Mesir sehingga tetap berusaha merekonsiliasi komponen Islam dan China dan menggunakan sumber daya dari kedua peradaban itu untuk kepentingan seluruh negara-bangsa Cina.