Merawat Tradisi Bershalawat Sambil Berjabat Tangan di Belanda
Merawat hafalan yang lama itu lebih sulit daripada mendapatkan hafalan yang baru
AMSTERDAM – “Yang susah itu menjaganya daripada meraihnya.” Sebuah kalimat motivasi, kenangan saya mengingat nasehat Kiai Ahmad Chusnan dan Kiai Chozin ketika mesantren di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Raudlatul Huffadz, Banyurip Ageng – Pekalongan Selatan Jawa Tengah.
Nasehat ini selalu diungkapkan karena berkenaan dengan hafalan al Quran yang saya setorkan setiap harinya sebanyak lima halaman hafalan baru. Terbilang cepat memang bila dibandingkan teman-teman santri lain, yang hanya mampu menambah hafalan barunya satu halaman setiap hari.
Di tengah ngeriungnya para santri, pak kiai selalu mengingatkan untuk banyak-banyak mengulang hafalan yang sudah disetorkan. Jangan sampai mengejar cepatnya khatam, setelah itu lupa dengan hafalan yang di depan. Merawat hafalan yang lama itu lebih sulit daripada mendapatkan hafalan yang baru.
Begitu juga dengan kebaikan-kebaikan yang setiap hari kita lakukan. Menjaganya untuk tetap istiqamah lebih sulit daripada memulainya. Seperti pernikahan, merawat keutuhan pernikahan itu lebih sulit daripada memulainya dengan ijab qabul. Seperti juga persaudaraan, menjaga ikatan persahabatan dan persaudaraan itu lebih sulit daripada pertama kali bertemu dan berkenalan.
Di Belanda, khususnya di Masjid al-Ikhlash Amsterdam, yang juga merupakan gedung pusat kebudayaan Indonesia, berupaya melanggengkan kekraban dan tradisi merawat persaudaraan dengan berjabat tangan setiap ba’da shalat fardlu. Semoga istiqamah.
Sambil berkeliling dengan senyuman dan melantunkan shalawat, rasa persaudaraan dan persatuan itu semakin terasa hangat. Allahumma Shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad, Yaa Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim.