Mengurus Tilang Elektonik
Agar masyarakat semakin sadar dan menaati tata tertib berkendaraan
Melanggar sepertinya sudah menjadi tabiat manusia, termasuk manusia Indonesia. Khususnya pelanggaran di jalan raya. Sudah menjadi pemandangan biasa, orang naik sepeda motor tidak pakai helm, menerabas lampu merah, berbonceng tiga dan banyak lagi pelanggaran bentuk lain. Kalau ditanya kenapa melanggar? Jawabnya enteng saja. Polisi tidak ada.
Kesadaran hukum masyarakat memang masih rendah. Di jalan raya, mereka taat aturan kalau ada pengawasan saja. Jika tidak, kebanyakan seenaknya. Makanya, ketika tilang elektronik (e-tilang) diterapkan di sejumlah ruas jalan raya, masyarakat seolah-olah harus menyiapkan diri. Bahkan ada kelompok yang bereaksi menunjukkan ketidaksetujuan.
Padahal sebetulnya, ini penerapan hukum biasa saja. Rekaman elektronik hanya sebagai alat bukti pelanggaran. Agar polisi tidak terus berdiri mengawasi para pelanggar di sepanjang jalan. Agar masyarakat semakin sadar dan menaati tata tertib berkendaraan. Undang-undang lalu lintas yang diberlakukan masih sama seperti sebelumnya. Tapi karena masyarakat terbiasa tidak taat, penegakkan hukum yang semakin ketat terasa memberatkan.
E-tilang sebelumnya sudah diberlakukan pada kendaraan roda empat di sepanjang Jalan Sudirman – MH Thamrin Jakarta. Mulai awal Februari 2020 bakal diberlakukan juga pada kendaraan roda dua. Jalur pemberlakuan juga ditambah, meliputi koridor 6 Trans-Jakarta Ragunan-Dukuh Atas.
Untuk roda dua, kepolisian bakal fokus pada tiga jenis pelanggaran. Pertama, bagi yang tidak memakai helm. Kedua, melanggar marka jalan atau menerobos lampu merah. Ketiga, melewati stop line.
Pelanggaran lain yang juga bakal diberlakukan adalah menggunakan ponsel pada saat berkendara.