Majelis Mudzakarah dan Ulama Pewaris Nabi

“Majelis itu membangunkan yang tidur, mengajak yang tidak aktif untuk aktif, tetapi tidak berlama-lama duduk, dia harus segera bangkit untuk melakukan kegiatan,” ujar Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA saat menjelaskan kosakata majelis dalam acara Launching Majelis Mudzakarah Masjid Istiqlal (M3I), Rabu (02/09).

Pendiri Pusat Studi Al Quran tersebut berharap dengan menjelaskan arti kosakata mengenai Majelis Mudzakarah itu bisa memperkuat tekad untuk melakukan kegiatan yang direncanakan.

Kelompok kita ini dinamai majelis mudzakarah. Pertama, majelis itu mempunyai makna mengajak orang yang berbaring untuk duduk sejenak dan kemudian beranjak melakukan kegiatan. Berbeda dengan kata qa’ada. Jika kita berbicara uq’ud, maka itu untuk orang yang berdiri yang Anda minta untuk duduk dan duduknya lama. Sedangkan ijlis untuk orang yang berbaring yang Anda minta untuk duduk, tetapi duduknya hanya sejenak kemudian beranjak melakukan aneka kegiatan.

Kedua, mudzakarah itu suatu kata yang menunjukkan kegiatan timbal balik. Mudzakarah terambil dari huruf dzal kaf ra yang mempunyai dua makna asasi. Yang pertama jantan, yang kedua mengingat, menyebut, memelihara. Karena redaksinya adalah mudzakarah, maka ini berarti menunjukkan keterlibatan dua pihak. Maka majelis mudzakarah ini melibatkan dua pihak untuk saling mengingatkan, menyebut, dan saling memperkokoh serta saling menguatkan.

Lalu mengapa majelis mudzakarah ini lahir atau dilahirkan dari masjid?

Abi Quraish menerangkan bahwa memang sebagian dari fungsi masjid itu pada masa nabi telah diambil oleh lembaga-lembaga lain. Tetapi sebagai orang-orang masjid, kalau tidak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan karena sekarang diambil alih oleh lembaga lain. Maka kita harus mengisi lembaga-lembaga itu dengan tuntunan-tuntunan masjid Rasulullah Saw.

“Dulu pada masa nabi, masjid itu pernah jadi tempat tahanan, tempat latihan militer dan lain sebagainya. Kalaupun masjid dewasa ini sudah tidak menjadi tempat tahanan dan latihan militer, tetapi nilai-nilai yang diajarkan nabi itu harus dapat kita salurkan ke lembaga-lembaga tersebut. Sehingga tetap melanjutkan fungsi-fungsi masjid pada masa nabi dan itu kita lakukan dengan mudzakarah saling ingat mengingatkan,” pesan Abi Quraish.

Ulama Pewaris Nabi

Pertanyaan yang muncul, ulama itu mewarisi apa dari nabi. Al Quran menyatakan “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Surah al Baqarah: 213)

Mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah itu menjelaskan bahwa salah satu yang diwarisi ulama dari para nabi itu adalah kitab suci. Dan tujuan kehadiran para nabi untuk diberikan kitab suci itu adalah liyahkuma bainannas fimakthlafu fih. Atau dengan kata lain ulama itu berusaha menyelesaikan kesulitan dan problem-problem yang dihadapi masyarakat.

“Kalau begitu, ulama sebagai pewaris nabi harus mampu menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat. Tidak menjadi problem masyarakat. Dari sini kita mudzakarah, karena memang masjid tempat mudzakarah,” imbuh penulis Tafsir Al Misbah tersebut.

Ulama itu Siapa?

Dalam bahasa al Qur’an, kata ulama itu bentuk jamak dari ‘alim. Tetapi bentuk jamak dari ‘alim itu bisa ‘ulama (Fathir: 28) bisa juga ‘alimun (al Ankabut: 43). Dengan demikian, ‘ulama itu berbeda dengan ‘alimun.

Orang yang mempunyai sedikit ilmu pun dinamai ‘alim. Ilmu apapun yang dimilikinya disebut ‘alim. Nonmuslim pun oleh al Qur’an yang mempunyai ilmu dinamai ulama (as Syu’ara: 197).

“Yang saya inginkan, ulama yang ada di sini itu bekerjasama dengan semua ilmuwan apapun ilmunya. Bekerja sama dengan semua cendekiawan muslim ataupun nonmuslin dalam rangka memberi solusi bagi problema masyarakat,” tutur ulama yang mendapatkan tanda bintang kehormatan dari pemerintah Mesir atas jasa dan kiprahnya.

Ulama itu adalah sekumpulan orang yang memiliki ilmu yang dalam atau tidak dalam. Selain itu ulama juga kata Abi Quraish bisa salah (Yusuf: 76). Tetapi al ‘alimun itu adalah orang-orang yang sangat dalam ilmunya, seperti Imam madzhab dan Ibnu Sina.

“Tapi kita-kita ini masuk dalam kelompok ulama walaupun hanya sedikit ilmunya. Dan karena itu kita harus bekerja sama,” ucap Pendiri Ponpes Bayt Al Quran tersebut.

Abi Quraish mengingatkan, bahwa salah satu fungsi kita sebagai ulama adalah mengingat, menyebut (dzikir), mengingat pendapat-pendapat lama untuk kita seleksi. Mana yang masih sesuai dan mana yang perlu dikembangkan. Mengingat dan saling mengingatkan saling menyebut, tidak memonopoli pendapat. Karena bisa jadi pendapat seorang itu keliru, tetapi pendapat bersama yang keliru itu lebih ringan dari pendapat seorang yang otoriter.

Lalu, anggota Majelis Hukama Al Muslimin itu juga menginginkan bukan hanya ilmu. Yang diinginkan itu paham dan fiqhi. Bisa jadi seseorang itu mengetahui tapi tidak paham. Seperti anak kecil yang tahu handphone tapi tidak tahu menggunakannya. Atau lebih jauh sebagian besar kita tahu cara menggunakan handphone tapi tidak mengetahui proses di dalamnya.

Kita sebagai ilmuwan tidak hanya dituntut untuk tahu. Masyarakat kita harus diarahkan bukan hanya untuk tahu misalnya melalui google. Tapi kita harus arahkan agar paham, karena tanpa pemahaman itu keliru.

Ulama menurut Abi Quraish mesti memperhatikan tiga hal, yakni teks, maqashidus syariah dan kenyataan di lapangan. Tiga hal ini kait-berkait, dan tanpa memperhatikan ketiganya, pastilah hasil yang disampaikan ulama itu akan keliru.

Keliru karena tidak memahami apa yang disebut ulama dengan fiqhul waqi’ dan fiqhut tawaqqu’. Yakni pemahaman tentang apa yang terjadi di lapangan dan pemahaman tentang apa yang diperkirakan akan terjadi untuk kemudian memberikan tuntunan kepada umat dan memberi solusi terhadap problem yang dihadapinya.

“Jangan heran kalau salah dari tujuan dari lembaga ini adalah memberi saran kepada pemerintah. Karena memang masjid negara, yang dibiayai negara. Maka sangat wajar hasil dari mudzakarah ini disampaikan kepada pemerintah untuk membantu pemerintah melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan tuntunan agama,” pungkas ulama asal Sidenreng Rappang itu.

Baca Lainnya
Komentar
Loading...