YANGON – Pagi itu begitu cerah, akan tetapi hawa panas tetap terasa, sehabis memberikan kajian rutin Ramadhan bakda subuh saya berinisiatif untuk joging mengelilingi sekitar wisma mitra tempat dimana saya tinggal, yang biasa dipergunakan sebagai Guest House (11/5).
Buat saya yang berasal dari Serang Pandeglang melihat orang sarungan itu sudah biasa, karena tradisi itu sudah membudaya, terutama bagi kalangan santri. Saya baru tahu kalau di Myanmar pun demikian, bahkan acara resmi kenegaraan pun busana yang paling hebat dan bagus untuk dikenakan adalah memakai sarung.
Di Myanmar budaya sarungan ini dinamakan dengan longyi, cuma bedanya ada sedikit perbedaan dalam melipat sarungnya.
Jadi yang saya amati disini budaya sarungan di Myanmar tidak khusus buat muslim saja. Mereka yang mayoritas beragama budha atau non muslim juga memakai tradisi sarungan ini. Nampak mereka sambil membawa payung dan ditambah menenteng rantang, berisi makanan untuk makan siang.
Padahal kalau di Indonesia budaya sarungan lebih identik dengan santri atau dari kalangan pondok pesantren bale rombeng (pesantren salafi).
Dari sini, walhasil saya simpulkan bahwa di Indonesia, sarungan bisa jadi simbol relijius seorang muslim. Namun di Myanmar, hal tersebut hanyalah menjadi tradisi dan budaya.