Laut China Selatan Memanas
Laut Cina Selatan adalah tentang klaim kedaulatan dan jalur perekonomian strategis
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) mengajukan protes kepada pusat kekuasaan di Beijing karena sebuah kapal penjaga pantai China terus menerus berada di wilayah perairan NKRI sejak Sabtu (12/9) hingga Senin (14/9) siang, meskipun sudah diusir oleh kapal dari Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) RI.
Kapal itu berada di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Negara Kesatuan Republik Indonesia karena mengklaim wilayah itu adalah bagian dari negara China berdasarkan teori “Sembilan Garis Putus” yang didasari oleh hak kesejarahan.
Situasi terakhir sudah sangat menegangkan. Komando Armada (Koarmada) I TNI AL bahkan sudah menyiagakan empat kapal perang Indonesia di wilayah Natuna Kepulauan Riau dengan rata-rata 100 personel di atasnya. Jadi, total ada 400 personel. Biasanya, dalam kegiatan rutin hanya dua hingga tiga kapal yang berpatroli.
Juga penerbangan pesawat militer dari berbagai negara di wilayah Natuna hingga Selat Malaka semakin meningkat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi meningkatnya tensi di Laut Cina Selatan.
Sembilan Garis Putus
Klaim “Sembilan Garis Putus (Nine-Dash Line)” atau disebut juga “Lidah Sapi (Cow’s Tongue)” adalah klaim negara Cina bahwa wilayah itu adalah miliknya. Ini sebetulnya merupakan sembilan titik imajiner yang menjadi dasar bagi Cina, dengan dasar historis, untuk mengklaim wilayah Laut China Selatan.
Klaim itu berbenturan dengan dengan kepentingan wilayah negara-negara lain, terutama wilayah NKRI, karena Zona Ekonomi Eksklusif yang dimiliki oleh NKRI sesuai pengakuan dunia internasional juga diserobot oleh klaim Sembilan Garis Putus tersebut.
Konflik Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan sudah terjadi sejak lama yang melibatkan militer dua raksasa besar, Amerika Serikat dan China. Hingga saat ini, kedua negara itu tak henti saling menunjukkan hegemoni masing-masing.