Ibadah puasa Ramadhan mengajarkan kita sikap empati terhadap orang-orang yang kurang beruntung, yakni para fakir dan miskin.
Di saat kita secara sengaja menahan lapar pada siang hari di bulan Ramadhan, mungkin ada orang-orang di sekeliling yang merasakan lapar setiap hari. Tidak saja di siang hari, mungkin juga di sepanjang malam.
Mereka terpaksa menahan lapar karena memang tidak ada makanan yang bisa dimakan, kalaupun ada mungkin kekurangan, itu semua akibat kemiskinan.
Puasa mengingatkan kita bahwa di saat perut kenyang, ternyata masih banyak orang yang merintih karena kelaparan. Di saat kita serba berkecukupan ternyata masih banyak orang yang hidup serba kekurangan.
Dan pada kelebihan-kelebihan yang kita miliki itu, sejatinya ada hak-hak mereka yang semestinya dengan ikhlas kita bagikan.
Rasulullah Saw adalah teladan, yang dalam kehidupannya sangat merasakan degup penderitaan kaum fakir dan miskin.
Meski beliau seorang pemimpin, bukan berarti hidupnya bermewah-mewahan. Beliau bahkan pernah mengganjal perutnya dengan batu karena lapar dan tidak punya makanan untuk dimakan.
Dikisahkan, pada suatu malam Rasulullah Saw bersama para Sahabat hendak melaksanakan salat isya berjamaah.
Tapi para Sahabat merasakan ada yang janggal dari diri Nabi Saw.
Para Sahabat yang menjadi makmum dalam salat mendengar suara aneh dari perut Nabi Saw. Suara itu terdengar jelas ketika rukuk maupun sujud.
Seusai salam, para Sahabat lalu saling pandang dan kebingungan saling mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Nabi Saw.
Dalam kebingungan itu, lalu Umar bin Khatab memberanikan diri bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah Anda sedang sakit?”
“Tidak,” jawab Nabi.
Tapi jawaban tersebut tidak membuat Umar puas. Ia pun melanjutkan pertanyaannya, “Tapi wahai Rasulullah, saat salat tadi kami mendengar ada bunyi sendi yang saling bergesekan dari tubuhmu.”
“Tidak, aku tidak sedang sakit,” Nabi Saw terus mengelak.
Para Sahabat yang masih belum yakin terus menanyakan pertanyaan serupa untuk memastikan keadaan Nabi Saw. Tetapi, jawaban Nabi Saw tetap sama. Beliau terus meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Namun Nabi Saw yang terdesak dengan pertanyaan para Sahabat itu akhirnya mengakui bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Betapa terkejut para Sahabat saat melihat apa yang ada di perut Nabi Saw. Saat dibuka, dari balik baju beliau terdapat batu-batu kecil yang digunakan untuk mengganjal perutnya yang sedang lapar.
“Wahai Rasulullah, untuk apakah engkau mengikat perutmu dengan batu?” tanya Umar.
“Aku lapar, dan aku tidak memiliki apa pun untuk dimakan,” jawab Nabi Saw.
Umar lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana engkau memandang kami? Jika engkau kelaparan, tidak mungkin kami tak memberi makanan paling lezat untukmu.
“Wahai Rasulullah, kami semua, sahabatmu ini, hidup dalam kemakmuran.”
“Tidak wahai Umar, aku tahu kalian tidak hanya akan memberikan makanan lezat untukku, tapi juga harta bahkan nyawa kalian untukku, sebagai bukti rasa cinta. Tapi Umar, bagaimana nanti aku akan menghadap Allah, dan bagaimana caraku menyembunyikan malu, jika sebagai pemimpin aku membebani orang yang aku pimpin,” begitu jawab Nabi Saw.
Beliau lalu menambahkan, “Biarlah rasa lapar ini sebagai hadiah Allah untukku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini. Lebih-lebih lagi, tidak ada yang kelaparan di akhirat kelak.”
Begitulah pengorbanan yang ditunjukkan Rasulullah Saw untuk umatnya. Sekaligus memberi keteladanan bahwa kesederhanaan dan sikap tidak bermewah-mewahan itu harus dilakukan, bahkan oleh seorang pemimpin sekalipun. Apalagi di tengah banyak umatnya yang masih merasakan kemiskinan dan penderitaan.
Ibadah puasa, semoga menjadi momen untuk meningkatkan empati kita terhadap kaum papa, serta melatih diri kita untuk bersikap sederhana dan tidak berlebihan, paling tidak belajar merasa malu hidup berkecukupan, sementara banyak tetangga sekelilingnya yang masih kesulitan.