Salah satu isu yang mengemuka saat pandemi Covid-19 mulai melumpuhkan perekonomian dunia adalah soal ketahanan pangan.
Organisasi pangan dunia FAO sudah menyampaikan sejak awal akan adanya ancaman kelangkaan pangan jika pandemi Covid-19 ini berlangsung lama. Sejak peringatan itu, Pemerintah Indonesia mengontrol ketersediaan bahan pokok hingga ke daerah-daerah dan meninjau kembali kesiapan masing-masing.
Isu ketahanan pangan tiba-tiba menjadi sangat penting dalam situasi bencana, apalagi terjadi secara global.
Covid-19 telah membatasi aktivitas masyarakat, termasuk aktivitas pertanian sebagai sumber bahan pangan pokok, serta aktivitas ekspor-impor. Kita tahu, sebagian kebutuhan pokok pangan masyarakat masih banyak impor dari negara lain.
Isu ketahanan pangan seharusnya tidak perlu terlalu dirisaukan saat pandemi menyerang, apabila sejak awal kita sudah memiliki kedaulatan pangan, sehingga tidak tergantung impor. Apalagi kita bangsa agraris dan memiliki lahan yang sangat luas untuk dikelola sebagai sumber-sumber kebutuhan pangan.
Pelajaran Berharga dari Negeri Belanda
Coba tengok Negeri Kincir Angin Belanda, sekarang ia menjadi salah satu lumbung pangan di dunia. Berapa luas negaranya? Sangat kecil, hanya sekitar 42 ribu kilometer persegi, lebih kecil dari luas Jawa Timur, apalagi 55 persen dari wilayahnya berada di bawah permukaan laut.
Selain kecil, Belanda juga padat penduduknya, lebih dari 500 orang per kilometer persegi. Tentu saja ini membuat di Belanda tidak banyak lahan untuk pertanian skala besar.
Tapi ternyata, jika dilihat nilainya, Belanda adalah negara pengekspor komoditas pangan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, yang luas daratannya 270 kali lebih besar.
Apa kuncinya? Teknologi pertanian. Belanda telah berhasil mengubah cara bertani dengan kemajuan teknologi pertanian yang terus mereka kembangkan.
Tak heran jika di Belanda, rumah seorang petani akan dikelilingi oleh lautan rumah kaca, di rumah-rumah kaca itulah sumber-sumber pangan dihasilkan.
Dikutip dari National Geographic, di sebuah ladang kentang di dekat perbatasan Belanda dan Belgia, petani Jacob van den Borne mengontrol ladangnya menggunakan dua buah drone yang memberikan informasi terperinci mengenai unsur hara tanah, kandungan air, nutrisi, dan pertumbuhannya, serta mengukur perkembangan setiap tanaman.
Jika pada umumnya di dunia hasil panen kentang 20 ton per hektar, Van den Borne bisa memanen lebih dari 47 ton.
Tidak hanya panen melimpah, petani juga sudah menerapkan pertanian berkelanjutan dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit namun menghasilkan panen lebih banyak.
Sejak tahun 2000, banyak petani di Belanda sudah mengurangi ketergantungan pada air untuk tanaman pangan pokok hingga 90 persen. Mereka juga hampir sepenuhnya menghindari penggunaan pestisida kimia pada tanaman di dalam rumah kaca. Sejak 2009 peternak unggas dan hewan ternak lain mengurangi penggunaan antibiotik hingga 60 persen.
Riset dan Ilmu Pengetahuan
Di balik semua kesuksesan itu, Belanda memang memiliki pusat penelitian dan ilmu pengetahuan yang kuat. Wageningen University & Research (WUR) di sebelah tenggara Amsterdam dikenal sebagai lembaga penelitian pertanian nomor wahid di dunia.
WUR merupakan pusat Food Valley, berupa kompleks besar perusahaan pengembang teknologi pertanian dan pertanian eksperimental. Di tempat ini, orang-orang selain bekerja sebagai peneliti dan ilmuwan mereka juga bergelut langsung dengan pasar untuk mengelola kontrak bisnis dan sebagainya.
Pertanian di Zaman Keemasan Islam
Ajaran Islam amat sadar pentingnya kedaulatan pangan. Bahkan Rasulullah Saw menganjurkan agar umat membiasakan diri menanam pohon meskipun usia sudah senja. Sebab, buah dari pohon yang ditanam itu akan bermanfaat untuk anak keturunannya.
Pesan ini sejatinya menyiratkan pentingnya umat Islam membangun lebih dari sekadar ketahanan pangan, tapi kedaulatan pangan.
Sebab itu, di masa keemasan Islam, sekitar awal abad ke-9 M peradaban kota-kota besar Muslim yang tersebar di Timur Dekat, Afrika Utara, dan Spanyol telah ditopang dengan sistem pertanian yang sangat maju, irigasi yang luas, serta pengetahuan pertanian yang tinggi.
Hal itulah yang membuat dunia Islam di era kekhalifahan memiliki ketahanan pangan yang kuat. Sejarah mencatat, peradaban Muslim telah berhasil melakukan transformasi mendasar di sektor pertanian yang dikenal sebagai Revolusi Hijau Abad Pertengahan atau Revolusi Pertanian Muslim.
Pada era itu, Islam menguasai berbagai komoditas pertanian yang pada awalnya justru berasal dari peradaban bangsa lain. Misalnya, komoditas gandum yang asalnya dari Afrika atau tebu untuk gula yang berasal dari peradaban India, berhasil dikembangkan oleh peradaban Muslim.
Pertanyaan kita sekarang, Indonesia merupakan negara dengan lahan sangat luas, subur pula. Juga merupakan tempat bagi populasi masyarakat Muslim terbesar di dunia. Sudahkah berdaulat atas pangan bagi rakyatnya sendiri?
Semoga, pandemi Covid-19 membuka mata kita akan pentingnya berdaulat dalam hal pangan, sehingga tak perlu risau lagi soal ketahanan pangan di masa-masa yang akan datang.