Istighfar dan Terkabulnya Hajat
Istighfar haruslah disertai dengan tindakan yang mengiringi permohonan ampun
Dalam dunia tasawuf ada tahapan dalam laku tarekat yang disebut sebagai maqamat. Maqamat adalah tangga yang dilalui seorang salik (penempuh jalan tasawuf). Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah taubat. Bertaubat adalah menyesali segala perbuatan yang tidak baik dan tidak lagi mengulanginya. Dan istighfar adalah salah satu bagian dalam taubat.
Istighfar (meminta ampun) berbeda dengan membaca istighfar. Sebanyak apapun seseorang membaca istighfar selama tidak ada proses “meminta ampun” dari lubuk hati yang mengarah kepada taubat dari segala perilaku buruk, bacaan tersebut tidak bepengaruh terhadap proses pembersihan diri dari segala perbuatan buruk. Dengan demikian istighfar haruslah disertai dengan tindakan yang mengiringi permohonan ampun, yaitu tidak mengulangi perbuatan yang tercela.
Suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal berkeinginan untuk pergi ke Bashrah. Selepas shalat Isya di suatu masjid di kota tersebut, dia bermaksud untuk tidur di dalam Masjid. Namun penjaga Masjid yang tidak tahu siapa orang yang ada dihadapannya tersebut tidak memperbolehkan dan menyuruhnya keluar. Bahkan saat hendak tidur di teras Masjid pun masih diusir oleh penjaga. Sampai kemudian ada seorang laki-laki yang menawarkan agar Imam Ahmad istirahat di rumah kecilnya.
Pekerjaan lelaki tersebut adalah membuat roti. Dan ketika dia mengolah adonan roti, Imam Ahmad memperhatikan laki-laki tersebut selalu membaca istighfar. Lalu dia bertanya, “Sejak kapan kau melakukan ini?”
“Sejak 30 tahun,” jawabnya. “Lalu apa manfaat yang kau dapat?” tanya sang Imam. “Tidak ada hajat yang saya minta, kecuali Allah kabulkan (karena wasilah istighfar). Tapi masih ada satu yang belum dikabulkan. Saya minta kepada Allah agar dipertemukan dengan Imam Ahmad,” jelas si pembuat roti.
Medengar yang demikian Imam Ahmad terheran-heran dan berkata, “Allah telah mendatangkan saya dari Baghdad ke Bashrah karena istighfarmu”.
Sebagai manusia biasa yang selalu diliputi dengan salah dan dosa, hendaknya seseorang memperbanyak istighfar. Bahkan Nabi Muhammad yang sudah jelas dijaga dari perbuatan dosa pun beristighfar. “Demi Allah sesungguhnya aku meminta ampun (istighfar) dan bertaubat kepadan-NYA dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR . Bukhari).