Islamic Marketing: Berjualan dengan Etika

Cara orang atau produsen melakukan proses pemasaran (marketing) sebuah produk kini berkembang sedemikian rupa, terlebih dengan penggunaan platform digital yang begitu massif. Dari penjualan langsung (hard selling) hingga tidak langsung (soft selling).

Berbagai gimik digunakan, agar sebuah produk dikenal, dan akhirnya dibeli oleh masyarakat. Sejauh tidak melanggar hukum dan masih dalam batas etis, cara kreatif dalam melakukan pemasaran tentu saja tidak dilarang.

Batas-batas pelanggaran hukum sudah jelas diatur oleh hukum, namun yang kerap menjadi kontroversi biasanya batas-batas etis.

“Secara hukum boleh, tapi apakah etis berjualan dengan cara seperti itu?” Begitu pertanyaan yang kerap muncul menanggapi gimik sebagai cara berjualan.

Sebab untuk memperkenalkan produknya, produsen tidak saja menggunakan informasi positif, kadang kala mereka menggunakan informasi negatif. Landasannya, teori “bad news is good news”.

Gimik sendiri merupakan strategi penjualan dengan menyiasati produk, baik dari kemasan atau iklan. Orang sengaja menciptakan kontroversi agar produknya dikenal dan laku. Namun ada yang setuju, ada yang tidak dengan cara ini. Bahkan ada yang menyebut gimik sebagai cara ‘mengemas dusta’.

Baru-baru-ini, entah gimik atau tidak, gara-gara menegur reviewernya di YouTube dengan sebuah surat, merek pakaian dan peralatan outdoor terkenal mendadak viral di Twitter. Meski responnya negatif, tapi merek ini kembali dibicarakan orang. Belum diketahui, meningkatkan penjualan atau tidak.

Bagaimana semestinya etika dalam marketing?

Memperlakukan pelanggan pada dasarnya sama seperti membangun hubungan sesama manusia. Prinsip-prinsip seperti kejujuran, murah hati, tidak menyakiti, juga berlaku dalam proses marketing.

Etis atau etika terkait dengan norma, baik hukum maupun agama. Islam dengan jelas mengajarkan soal ini. Karena itu muncul istilah Islamic Marketing.

Islamic Marketing menggali dan menganalisis bagaimana seorang Muslim, baik marketing atau konsumen, dipengaruhi oleh ajaran Islam saat melakukan aktivitas pemasaran.

Setidaknya ada tiga dimensi yang digunakan sebagai pertimbangan pada Islamic Marketing, yakni: normatif, etika dan kesejahteraan sosial. Ketika dimensi ini melebur dan menjadi value baru.

1. Normatif atau hukum syariat

Dimensi ini mempertimbangkan halal (baik yang wajib, sunnah, mubah dan makruh) atau haram dalam proses marketing.

2. Etika

Dimensi ini menggunakan pertimbangan-pertimbangan etis yang diajarkan Islam (Islamic Ethics). Etika menjadi pegangan bagi Muslim dalam menjaga perilaku, perkataan, pemikiran dan niat ketika melakukan interaksi atau relasi dengan keluarga, tetangga, teman dan masyarakat untuk segala urusan kehidupan, termasuk bisnis.

Tiga etika utama dalam Islam yang bisa dijadikan rujukan dalam proses pemasaran adalah:

Jujur: tercermin saat seorang marketing tidak menutup-nutupi cacat atau kekurangan produk yang ditawarkan.

Adil: ketika marketing tidak membeda-bedakan manfaat dari produk atau layanan yang didistribusikan kepada para Konsumen.

Amanah: ketika marketing tidak mengurangi manfaat produk atau layanan yang diberikan kepada para konsumen.

3. Kesejahteraan Sosial

Islamic Marketing lebih mengutamakan kesejahteraan sosial daripada kesejahteraan individu atau kelompok. Dengan begitu, strategi maksimalisasi value dipilih ketimbang maksimalisasi keuntungan.

Marketing harus mengambil peran itu, dengan niat ingin meningkatkan standar hidup para konsumen agar terwujud kesejahteraan sosial. Bukan semata mengambil keuntungan besar dalam jangka pendek. Di sinilah pendekatan kemanusiaan (humanistic approach) dan pelestarian lingkungan digunakan.

Baca Lainnya
Komentar
Loading...