Pandemi Covid-19 diprediksi sejumlah ahli belum akan benar-benar berakhir kecuali vaksin berhasil ditemukan. Untuk sampai pada penemuan tersebut dibutuhkan waktu cukup lama, ada yang mengatakan 1 tahun bahkan 2 hingga 3 tahun.
Setelah vaksin ditemukan, masalah lainnya adalah bagaimana cara mengaksesnya, seberapa mahal harganya dan lain sebagainya yang kerap menjadi kendala bagi negara-negara miskin atau berkembang, termasuk juga bagi Indonesia. Terkecuali, vaksin tersebut bisa ditemukan dan dikembangkan di negeri ini.
Kapan sebetulnya vaksin digunakan untuk menghalau virus mematikan seperti Covid-19? Berikut fakta-fakta sejarahnya.
Era Sebelum Vaksin
Istilah vaksin sebetulnya baru dikenal sekitar tahun 1796, yaitu ketika vaksin cacar pertama berhasil ditemukan.
Sebelumnya, pencegahan penyakit yang diakibatkan infeksi virus sudah dilakukan sejak zaman Yunani Kuno (429 SM). Ketika itu, seorang ahli sejarah Yunani menemukan bahwa orang-orang yang berhasil sembuh dari penyakit cacar, tidak pernah terinfeksi cacar untuk kedua kalinya.
Kemudian pada tahun 900 M, orang-orang Cina menemukan bentuk vaksin kuno yang dinamakan variolasi. Yaitu proses memindahkan virus cacar dari lesi penderita cacar ke orang-orang yang sehat dengan tujuan mencegah infeksi.
Caranya dengan mengoleskan cacar sapi pada luka di kulit untuk mencegah penyakit tersebut.
Variolasi menyebar ke Eropa pada abad ke-18 ketika pandemi cacar menjadi penyakit paling menular di sana. Dengan cara tersebut tingkat kematian akibat cacar dapat dikurangi.
Praktik ini pada awalnya meniru para biksu Buddha yang meminum racun ular untuk memberi kekebalan terhadap gigitannya.
Vaksin Modern
Vaksin modern kemudian ditemukan pada 1796 oleh seorang dokter di Berkeley AS bernama Edward Jenner. Ia pun didapuk sebagai penemu vaksin modern pertama di dunia.
Jenner berhasil membuktikan inovasinya, setelah berhasil memvaksinasi seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dengan cacar sapi. Pada 1798, vaksin cacar pertama dikembangkan.
Baru pada abad ke-18 hingga ke-19 imunisasi cacar secara massal digalakkan seiring program pemberantasan cacar secara global pada 1979.
Istilah vaksin sendiri digunakan pertama kali dr. Jenner karena berasal dari cacar sapi. Sementara itu sapi dalam bahasa latin adalah vacca.
Pro-Kontra Vaksin
Ternyata, pro dan kontra terhadap vaksinasi tidak hanya terjadi sekarang, menurut catatan sejarah pada tahun 1870, hal serupa juga terjadi.
Alasan orang yang kontra terhadap vaksinasi, karena mereka meragukan keberhasilan metode tersebut. Selain itu, mereka juga merasa kebebasannya terenggut karena imunisasi diwajibkan oleh pemerintah.
Sebagian kalangan muslim menolak vaksinasi atau imunisasi secara massal karena mempertanyakan kehalalannya. Di samping itu, bisnis vaksin yang hanya dikuasai segelintir perusahaan multinasional di dunia juga tak luput dari kritik.
Dikembangkan Vaksin Selain Cacar
Pada tahun 1880, Louis Pasteur mulai mengembangkan vaksin jenis lain, yaitu untuk rabies, kolera dan antraks, sesuai dengan virus yang berkembang di dunia.
Tahun 1890, vaksin difteri dan tetanus diciptakan oleh ilmuwan Jerman bernama Emil von Behring.
Selain kedua orang tersebut, salah satu penemu vaksin yang lain adalah Maurice Hilleman. Ia mengembangkan vaksin campak, gondok, hepatitis A, hepatitis B, cacar air, meningitis, hingga pneumonia.
Jika sebelumnya vaksin dikembangkan dari virus, antara tahun 1890 hingga 1950, vaksin yang berasal dari bakteri juga dikembangkan.
Mulailah muncul vaksin seperti Bacillis-Calmette-Guerin (BCG) yang masih digunakan sampai sekarang. Bahkan pada 2008 lalu ada seorang peneliti menciptakan vaksin pemanjang usia untuk pasien kanker otak.
Fatwa MUI tentang Vaksin dan Imunisasi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga otoritatif bagi ulama muslim di Indonesia sejak lama memberi perhatian terhadap polemik vaksinasi atau imunisasi di kalangan umat Islam.
Fatwa terbaru terkait ini yaitu Fatwa Nomor 33 Tahun 2018, dimana MUI menyatakan vaksin MR yang dikenal dengan Rubella hukumnya mubah (dibolehkan) karena kondisi keterpaksaan dan belum ditemukan vaksin MR yang halal.
Sebelum itu, MUI sudah punya fatwa Nomor 4 Tahun 2016 yang menjelaskan tentang hukum imunisasi. Dijelaskan bahwa hukum imunisasi pada dasarnya dibolehkan atau mubah sebagai ikhtiar mewujudkan imunitas tubuh dalam mencegah terjadinya penyakit.
Tapi, MUI mensyaratkan, vaksin yang digunakan wajib yang halal dan suci. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram atau najis hukumnya haram, kecuali dalam kondisi darurat dan belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci.