Ibadah haji merupakan ritual ibadah yang penuh dengan simbolisasi. Dari mulai ihram, tawaf, sa’i, wukuf, melontar jumrah, mencium hajar aswad, dan lain-lain hingga tahalul, semua penuh dengan simbolisasi.
Tentu saja, sebagaimana ritual ibadah lain, seorang Muslim menjalankannya cukup dengan dengan keimanan kepada Allah Swt, bukan dengan melogikakan atau merasionalisasi dan bertanya-tanya kenapa begini, kenapa begitu.
Namun begitu, merenungkan makna dari ritual-ritual haji untuk menambah kekhusyukan beribadah serta agar memberi dampak atau hikmah setelah melaksanakannya merupakan keharusan.
Imam al-Ghazali, merenungkan secara sufistik serangkaian ritual ibadah haji. Ia memberi makna terhadap simbol-simbol dalam ibadah tersebut. Ia menuliskannya dalam sebuah buku dengan judul “Asrar al-Haj”.
Al-Ghazali pun mengatakan, “Setiap keadaan yang terdapat di dalam ibadah haji merupakan gambaran tentang keadaan di akhirat.”
Berikut Al-Ghazali menyingkap makna rahasia dari sejumlah simbliosasi yang terdapat pada ritual ibadah haji:
Talbiyah
Orang yang berangkat haji diharuskan ber-tajarrud, yaitu meninggalkan atau melepaskan diri dari perkara-perkara zalim dan maksiat.
Sebab jika orang yang berhaji tidak ber-tajarrud, maka talbiyah yang ia ucapkan menjadi tidak memiliki makna, sehingga patut dipertanyakan, “apa tujuannya berhaji?”
Kezaliman dan kemaksiatan bertolak belakang dengan makna talbiyah yang dilafalkan selama berhaji, “Labbaikallaahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik, innal hamda wan ni‘mata laka wal mulk laa syariika lak.”
Artinya, “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”
Membawa Bekal
Jemaah haji adalah musafir yang sedang melakukan perjalanan panjang dan berat, apalagi ketika perjalanan ibadah haji itu dilakukan sebelum ada transportasi seperti mobil dan pesawat terbang.
Selayaknya musafir, seorang jemaah haji pasti akan membawa bekal yang secukup mungkin selama perjalanan.
Al-Ghazali mengumpamakan bekal yang dibawa selama perjalanan itu seperti halnya amal yang dibawa seseorang ketika menempuh perjalanan akhirat kelak. Perjalanan, yang tentu jauh lebih berat ketimbang perjalanan menunaikan ibadah haji.
Ia mengungkapkan, dalam perjalanan haji, jika ada perbekalan yang kurang maka ia bisa meminta bantuan orang lain.
Berbeda dengan perjalanan ke akhirat, tidak ada lagi orang yang bisa menolong kecuali syafaat dari orang-orang tertentu yang Allah izinkan.
Kendaraan
Saat ini, untuk berangkat haji kendaraan sudah berbagai macam. Mudah dan nyaman. Tinggal ada kemampuan untuk membayarnya.
Tapi bagaimana kalau kendaraan yang canggih itu tidak berhasil mengantarkan kita ke tempat tujuan karena beberapa hal, kecelakaan misalnya?
Al-Ghazali mengibaratkan kendaraan sebagaimana halnya jasad yang menjadi tunggangan bagi ruh menuju akhirat.
Alangkah malang, ruh yang jasadnya tidak berhasil membawanya dekat kepada Tuhannya, malah justru menjerumuskannya ke dalam bahaya di akhirat.
Dengan demikian, Al-Ghazali mengingatkan agar kita terus menerus mengingat Allah Swt sepanjang perjalanan hidup kita, sebab ajal seseorang siapa yang tahu.
Pakaian Ihram
Pakaian ihram berupa kain putih polos tanpa jahitan, ini pakaian para jemaah selama dalam pelaksanaan ibadah haji.
Pakaian ihram sama dengan kain kafan yang juga sama-sama polos tanpa jahitan. Cara memakainya juga hampir sama, dengan dililitkan.
Sebab itu, Al-Ghazali berpesan, ketika membeli kain ihram, ingatlah bahwa kelak ketika mati Anda akan dibungkus dengan kain kafan yang polos tak berjahit, tidak ada kebanggaan sama sekali.
Berpisah Sementara
Pada waktu seseorang berangkat haji, untuk sementara waktu ia merelakan dirinya berpisah dengan keluarga dan orang-orang tercinta, meninggalkan harta dan benda serta jabatan yang dipunya.
Ini adalah gambaran bahwa ketika ajal menjemput nanti, kita akan meninggalkan semua yang kita miliki di dunia itu. Saat itu tidak ada lagi yang patut diharapkan selain berhasil berjumpa dengan-Nya.
Al-Ghazali menyarankan agar kita terus menanamkan dalam jiwa kita hakikat tentang apa, siapa, dan ke mana tujuan kita.
Masuk Miqat
Saat jemaah haji memasuki miqat adalah gambaran tentang awal perjalanan akhirat, di saat ia memasuki pos pemberhentian pada Hari Kiamat.
Setelah itu, manusia akan memulai kehidupan setelah kematian, sebagaimana ia memulai prosesi ibadah haji.
Al-Ghazali juga menyebut tentang gangguan-gangguan yang dihadapi para jemaah haji tenpo dulu selama perjalanan, seperti gangguan perampok, penyamun, hingga binatang buas.
Ini sebagai seumpama pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir dan siksa kubur.
Masuk Tanah Suci Mekah
Ketika jemaah haji memasuki Kota Suci Mekah diibaratkan orang-orang yang sedang memasuki jalan menuju Tuhan mereka seraya mengharapkan keselamatan dari segala siksaan-Nya.
Pada saat mereka melihat kabah Baitullah inilah momentum untuk mereka mengucapkan dalam hatinya sebuah harapan agar dapat melihat Allah Swt di Hari Kiamat.
Menurut al-Ghazali, sesungguhnya orang itu seperti orang yang sudah hampir masuk surga tapi kemudian dia kadang kala terlalaikan oleh dunia sehingga berujung neraka. Karena itu ada yang ibadah hajinya diterima alias mabrur atau ditolak alias mardud.
Tawaf
Tawaf mengelilingi Kabah seumpama malaikat muqarrabîn yang juga tawaf mengelilingi ’arsy.
Maka, sesuai hadits, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, dia termasuk bagian dari mereka.”
Tawaf yang baik, kata al-Ghazali, adalah yang dilakukan dengan raga sekaligus jiwa yang mengingat Allah Swt Sang Penguasa alam raya. Tawaf bukan hanya dilakukan secara badaniahnya saja.
Sai dari Safa ke Marwa
Orang yang melaksanakan sai dari Safa ke Marwa ibarat orang yang bolak-balik di antara kedua ujung mizan (neraca) pada hari perhitungan (hisab) amal manusia. Dia ragu atas apa yang akan diputuskan Tuhan kepadanya. Apakah amalnya diterima ataukah ditolak, apakah dosanya akan diampuni atau tidak.
Melontar Jumrah
Selazimnya, ketika melontar jumrah diniatkan dengan tulus sebagaimana ketulusan niat Nabi Ibrahim as ketika didatangi dan digoda oleh Iblis saat diperintah Allah menyembelihan puteranya, Ismail.
Kemudia Allah memerintahkan Ibrahim agar melempari iblis dengan batu sebagai simbol penolakan beliau atas godaan dan ajakan maksiat dari Iblis.
Imam al-Ghazali menekankan agar jemaah haji yang melontar jumrah itu, berniat semata-mata untuk mematuhi perintah Allah Swt.
Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah adalah inti dari ibadah haji. Oleh karena itu, disinilah sah tidaknya haji seseorang ditentukan. Bahkan jika ia tidak mengikuti wukuf, maka ibadah hajinya batal dan harus diulang tahun berikutnya.
Berkumpulnya seluruh jamaah haji pada waktu wukuf di Arafah merupakan gambaran atau ibarat situasi kelak di padang mahsyar.
Ketika itu, seluruh umat manusia berkumpul di sana mengikuti nabinya masing-masing sambil mengharap syafaat dari mereka.
Kata al-Ghazali, sebab itu takutlah kepada Allah dan bertakwalah kepada-Nya agar Dia menakdirkan kita tergolong orang-orang yang selamat dari siksa-Nya.