Ibadah haji sempat menjadi alat propaganda penjajah Belanda. Saat perang kemerdekaan, Belanda sempat mengiming-imingi hadiah perjalanan haji kepada sejumlah tokoh ulama Islam agar melunakkan perlawanan. Tujuannya tak lain, meraih simpati rakyat.
Sebagian tokoh sempat goyah dengan iming-iming ibadah haji itu, yang merupakan satu dari 5 rukun Islam. Tapi sebagian lagi justru makin menguatkan perlawanan. Mereka bahkan rela menunda pergi haji demi melawan Belanda.
Bagaimana hikayatnya? Berikut sebagian catatan yang sempat terekam dalam ingatan sejarah!
Fatwa haram ibadah haji dengan fasilitas Belanda
Hari Sabtu, 20 April 1946 pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Haji Hasyim Asy’ari berbicara lewat siaran radio. Beliau yang ketika itu juga petinggi partai Islam di Indonesia, Masyumi, berfatwa agar umat Islam menolak tawaran haji dari Belanda.
“Haram bagi umat Islam Indonesia meninggalkan Tanah Air dalam keadaan musuh menyerang untuk menjajah dan merusak agama. Karena itu tidak wajib pergi haji di mana berlaku fardu ‘ain bagi umat Islam dalam keadaan melakukan perang melawan penjajahan bangsa dan agama,” seru KH. Hasyim Asy’ari ketika itu.
Fatwa dengan cepat beredar dari Jawa Timur hingga ke Jawa Barat. Tidak hanya di kalangan NU tapi juga di hampir seluruh organisasi Islam. Para tokoh agama lalu menunda kepergian mereka ke Tanah Suci, dan kembali ke arena pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Banyak yang sudah mendaftar lalu membatalkan diri. Belanda marah betul waktu itu.
Setelah itu pemerintah Republik Indonesia yang beru berdiri mengeluarkan Maklumat Menteri Agama RI Nomor 4 tahun 1947, yang menyatakan ibadah haji dihentikan selama negara dalam keadaan genting.
Ibadah haji digunakan memperalat ulama
Ibadah haji dipermainkan oleh Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Fakta ini ditegaskan oleh Ismail Hakki Goksoy, profesor sejarah Islam Suleyman Demirel University, Turki. Ia mencatat dalam artikel akademik “Dutch Policy towards the Indonesian Haj, 1946-1949”, bahwa ibadah haji digunakan Belanda untuk mencaplok kembali Indonesia.
Belanda paham betul bahwa para ulama dan kelompok agama memilik peran yang amat penting menggerakkan semangat perlawanan rakyat.
Dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya misalnya, pergerakkan rakyat semesta tidak lepas dari peran “Resolusi Jihad” oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Demi merebut hati umat Islam, NICA yang membonceng tentara sekutu ketika itu memfasilitasi perjalanan ibadah haji dengan kapal-kapal milik mereka.
NICA bahkan menyiarkan pengumuman ke wilayah-wilayah yang berhasil tunduk kepada Belanda seperti Kalimantan dan Sulawesi. Tokoh-tokoh ulama dibujuk agar berangkat haji menggunakan fasilitas mereka. Saat itu Belanda punya kuota haji sekitar 3.000 orang, tapi yang berangkat hanya 70 orang saja, kebanyakan jemaah berasal dari Sulawesi Selatan dan Sumbawa, dua wilayah yang sepenuhnya berhasil diduduki Belanda selama masa revolusi fisik.
Jemaah dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang sudah mendaftar kemudian membatalkan.
Namun demikian, pada tahun-tahun berikutnya, Belanda berhasil mengendalikan wilayah pedalaman. Walhasil, jumlah jemaah haji lewat fasilitas Belanda kembali meningkat. Data dihimpun Goksoy, pada 1947 jemaah haji Indonesia berjumlah sekitar 4.000 orang. Lalu tahun 1948 menjadi 9.000 orang yang mayoritas dari Indonesia Timur dan Kalimantan.
Pelayanan ibadah haji oleh pemerintah RI sebetulnya baru resmi dibuka pada tahun 1949 setelah merdeka secara penuh.