Kekuasaan yang berlangsung terlalu lama dan cenderung tanpa kritik bisa membuat seorang penguasa lupa akan hakikat kekuasaan, serta siapa pemiliki hakiki kekuasaan tersebut.
Kesombongan yang akut karena kuatnya kekuasaan, pada akhirnya akan melahirkan kezaliman. Namun Tuhan sang penguasa hakiki tak pernah tinggal diam.
Dia punya cara sendiri untuk menegur dan mengingatkan dengan keras, walau terkadang hanya dengan makhuk kecil yang tampak lemah.
Itulah yang terjadi pada seorang yang amat berkuasa di masanya, yang bernama Namrud. Kekuasaannya runtuh, karena serangan nyamuk. Iya, makhluk kecil itu.
Ribuan tahun sebelum masehi, Namrud bin Kan’an dikenal sebagai salah satu penguasa dunia. Kekuasaanya menyamai Raja Sulaiman bin Dawud dan Raja Zulkarnain. Tapi, ia penguasa yang zalim.
Namrud dikenal sebagai raja yang diktator dan otoriter. Ia tak segan menghukum rakyatnya yang menolak tunduk pada perintahnya.
Ia sosok yang gila puja dan pujian sehingga mengklaim dirinya sebagai tuhan dan mewajibkan rakyatnya untuk menyembahnya.
Suatu ketika, datanglah Nabi Ibrahim as untuk menghadiri jamuan makan kerajaan. Namrud pun menanyai para undangan yang hadir, “siapakah tuhanmu?”
Semua hadirin menjawab, “Namrud,” kecuali Nabi Ibrahim as. Beliau menjawab, “Tuhanku yang menghidupkan dan mematikan.”
Raja merasa dipermalukan oleh salah seorang tamu undangannya. Ia pun menegaskan bahwa dirinya bisa menentukan hidup dan mati seseorang.
Ibrahim menyatakan bahwa Tuhan yang ia sembah mampu mendatangkan matahari dari ufuk timur lalu menenggelamkannya di belahan bumi bagian barat. “Bisakah engkau wahai Namrud melakukan itu?” katanya mendebat Namrud.
Seperti terekam dalam QS. Al-Baqarah: 258, Ibrahim as menjawab, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.”
Merasa kalah debat dengan tamunya itu, Namrud memerintahkan untuk mengambil kembali sekantung makanan yang telah diberikan kepada Ibrahim as. Beliau diusir dan pulang ke rumahnya dengan tangan hampa. Namun demikian, Allah Swt mencukupkan rezeki untuk diri dan keluarganya di rumah.
Tak sampai di situ, Allah kemudian mengutus malaikat kepada Namrud. Mengajaknya agar beriman kepada-Nya. Berkali-kali ajakan malaikat di tolaknya.
“Memangnya ada tuhan selain aku,” ia malahan sesumbar seperti itu.
Akhirnya, malaikat menantang Namrud agar mengumpulkan para pengikut dan bala tentaranya.
Pada hari yang ditentukan, Allah mengirimkan ribuan makhluk kecil, nyamuk, yang menyerang pasukan Namrud hingga kocar-kacir.
Namrud pun mencoba melarikan diri dan bersembunyi di ruangan khusus. Tapi nyamuk terus mengejarnya sampai ke persembunyiannya. Nyamuk masuk ke kepala Namrud melalui lubang hidungnya dan bersarang di kepalanya untuk sekian lama, ada yang mengatakan selama 400 tahun.
Selama itulah, Namrud tersiksa oleh nyamuk. Ia terus mengusirnya dari dalam kepala dengan cara mengetok-ngetok menggunakan papan. Ia akhirnya tewas mengenaskan. Bukan di medan laga akibat tombak atau panah yang dihujamkan kepadanya, tapi karena seekor nyamuk kecil yang dikirimkan Allah, yang terus menerus mengganggu isi kepalanya.
Betapa Rapuh Kekuasaan Manusia
Kisah Namrud dan tragedi nyamuk kecil ini mengingatkan kita, betapa kekuasaan yang dimiliki manusia itu sejatinya tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Rapuh.
Imam al-Ghazali di dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin” menjelaskan bahwa sesungguhnya kerusakan (di tengah) rakyat itu disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa itu disebabkan juga oleh kerusakan ulama (para intelektual).
Sementara, kerusakan ulama atau intelektual disebabkan oleh kecintaannya terhadap harta dan kedudukan.
Sebab, barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi (mengurus) penguasanya.