Hamzah Fansuri: “Tuhan Lebih Dekat Ketimbang Leher Kita”

Hamzah Fansuri, namanya dikenal sebagai seorang penyair Nusantara klasik yang hidup sekitar abad ke-16. Sejatinya, ia merupakan seorang sufi.

Pemikiran-pemikirannya tentang tasawuf banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, terutama dalam memahami “wahdah al-wujud, selain itu Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin Iraqi juga begitu berpengaruh pada diri Hamzah Fansuri.

Syair-syairnya yang sufistik dipengaruhi oleh karya-karya Fariduddin al-Athar, Jalaludin Rumi, hingga Abdur Rahman al-Jami.

Sebagai seorang sufi Fansuri mengajarkan bahwa, “Tuhan lebih dekat dari pada leher manusia sendiri.”

Menurutnya, Tuhan juga tidak bertempat meskipun sering disebutkan bahwa Dia ada di mana-mana. Seperti dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 115, “fa ainama tuwallu fa tsamma wajhullah” (…dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah).

Menurut Fansuri, konsep kemungkinan untuk memandang wajah Allah yang ada di mana-mana merupakan konsep wahdal al-wujud. Sementara itu, para sufi menafsirkan bahwa “wajah Allah” sebagai sifat-sifat Tuhan seperti Pengasih dan Penyayang.

Para ahli sampai saat ini masih belum menemukan manuskrip yang membuktikan secara pasti tentang kehidupan Hamzah Fansuri. Namun mereka memprediksi Hamzah Fansuri lahir di Barus. Ia belajar di sana, kemudian mengembara dan pergi ke Kerajaan Aceh Darussalam sehingga menjadi pemuka agama di sana. Ia mendampingi raja yang berkuasa saat itu.

Ia diperkirakan hidup pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri‘ayat Syah (1588-1604 M) hingga awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Berikut salah satu syair yang ditulis Hamzah Fansuri yang menjadi petunjuk tentang kehidupannya:

Hamzah nin asalnya Fansury
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali
Dari abad ‘Abd al-Qadir Jilani

Hamzah di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam tiadakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu

Hamzah Fansury di dalam Mekkah
Mencapai Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus terlayu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah

Hamzah miskin orang uryani
Seperti Ismail menjadi Qurbani
Bukan Ajami lagi Arabi
Senantiasa wasil dengan yang baqi

Tasawuf Wujudiyah yang Ditentang

Konsep “wujudiyah” adalah pokok pemikiran Hamzah Fansuri, yaitu paham tasawuf yang berasal dari paham wahdah al-wujud Ibnu Arabi.

Konsep tersebut memandang bahwa alam semesta adalah penampakan (tajalli) dari Tuhan, artinya yang ada sejatinya hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Sementara, apa yang diciptakan oleh Tuhan pada hakikatnya tidak mempunyai wujud.

Hamzah Fansuri merupakan salah satu tokoh yang memperkenalkan ajaran tasawuf wujudiyah di akhir abad ke-16. Ajarannya tersebut mendapat banyak penentangan dari para ulama yang hidup di masa itu. Kenapa?

Karena ajaran tasawuf wujudiyah Hamzah Fansuri dianggap memiliki sejumlah kesamaan dengan konsep wahdah al-wujud-nya Al-Hallaj dan Ibnu Arabi. Yaitu dianggap mengajarkan bahwa Tuhan seolah-olah sama dengan makhluk-Nya, atau Tuhan bisa menitis dan menjelma pada semua ciptaan-Nya.

Para peneliti Barat sempat menyamakan ajaran tasawuf wujudiyah dengan konsep panteisme, paham yang menganggap bahwa Tuhan adalah semua benda atau juga sebaliknya semua benda adalah Tuhan.

Namun demikian, belakangan para sarjana Barat banyak yang tidak setuju menyamakan konsep tasawuf wujudiyah dengan panteisme. Sebab paham “kesatuan” yang dianut pengikut wahdah al-wujud mempunyai arti lebih dalam, yaitu sisi rohaniah yang amat tinggi (al-sir fi al-sir).

Pelaku taswuf yang sempurna dapat merasakan hakikat rantai-rantai rohaniah itu dengan Tuhan-nya, meskipun sulit bagi orang biasa memikirkan hal itu, sebab kebenaran akan hal tersebut merupakan kebenaran “rasa” atau dzauq dan kasyaf yang merupakan hasil dari pencapaian amaliah tasawuf seseorang.

Dianggap Sesat

Banyak yang mengatakan bahwa Hamzah Fansuri sesat, zindiq, hingga kafir karena faham wujudiyahnya itu.

Tetapi hal itu dibantah para ahli, dibuktikan dengan sajak-sajak Hamzah Fansuri yang malah justru mengecam para sufi palsu atau para pengikutnya yang menyelewengkan ajaran tasawuf yang lurus.

Dalam sajak-sajaknya, Hamzah Fansuri menunjukkan bahwa ia tidak sepaham dengan kaum zindiq, yaitu kelompok ‘wujudiyyah’ yang berhaluan ‘mulhidah’ atau menyimpang dari kebenaran.

Hamzah Fansuri harus dilihat sebagai seorang hamba yang melakukan pencarian terhadap Tuhannya. Bagi ia, perjumpaan dengan Tuhan harus direalisasikan melalui pembentukan diri dan pencarian diri. Hamzah Fansuri mengatakan, “Wujud dirinya esa juga”.

Ungkapan ini sejatinya harus dipahami sebagai tahap akhir perjalanan seorang sufi, yakni ma‘rifat. Dalam ma‘rifat, kehendak Tuhan dan kehendak manusia menyatu. Sehingga kata “wujud” tidak dapat diartikan sebagai “ada” secara fisik, namun sebagai “keberadaan” atau eksistensi. Orang yang telah mencapai ma‘rifat akan mampu memancarkan sifat-sifat ilahiah yang diberikan kepadanya.

Baca Lainnya
Komentar
Loading...