Halal Bihalal dan Silaturahim Sufi
Terminologi halal berasal dari kata halla atau halala sebagai lawan dari haram
Halal Bihalal sebagai tradisi sekaligus seremoni keagamaan pasca Hari Raya Idul Fitri, acara khusus untuk saling memaafkan, momen menjalin silaturahim antara sesama, menguatkan ukhuwah Islamiah, persaudaraan yang didasarkan kepada nilai-nilai keislaman.
Acara maaf-memaafkan dan silaturahim sangat sesuai dengan hakikat Idul Fitri. Idul berarti kembali sedangkan fitri berarti kesucian. Setiap yang ber-Idul Fitri harus sadar bahwa dirinya pernah melakukan kesalahan dan dengan kesadarannya itu. Bersedia untuk memberi maaf dan menerima maaf agar kembali kepada fitrah, sehingga dirinya menjadi halal dalam arti boleh, sah dan tidak berdosa.
Terminologi halal (sesuatu yang dibolehkan) berasal dari kata halla atau halala sebagai lawan dari haram (sesuatu yang dilarang). Sehingga ouput dari acara Halal Bihalal terkesan adanya penghapusan dosa akibat perbuatan haram yang telah dilakukan.
Tadinya antara seseorang dengan selainnya saling melakukan kesalahan dan tentu menimbulkan dosa. Maka dengan Halal Bihalal mereka saling memaafkan, mencairkan suasana yang tadinya keruh menjadi jernih, meluruskan benang kusut sehingga tercipta kedamaian.
Halal Bihalal merupakan produk-made in Indonesia yang pertama kali diprakarsai ulama kharismatik, KH Wahab Hasbullah salah seorang tokoh pendiri NU bersama KH Hasyim Asy’ari.
Prakarsa ini didasari kaidah thalabul halal bi thariqin halal, untuk mencari penyelesaian masalah mewujudkan keharmonisan dengan cara saling memaafkan.
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 dan sebagian elit politik saling berselisih bahkan bertengkar sehingga penting adanya saling memaafkan. Apalagi karena saat itu mereka tidak mau duduk dalam satu forum untuk membicarakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, sementara masih ada sebagian kecil kelompok elit lain dengan politik di bawah tanah dengan misinya merongrong kedaulatan NKRI.
Puncaknya pada tahun 1948 bangsa ini dilanda gejala disintegrasi, terjadi pemberotakan DI/TII, PKI Madiun dan di mana-mana. Situasi dilematis politik yang demikian bertepatan dengan bulan Ramadan sehingga Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim nasional yang karena sebentar lagi Idul Fitri dirayakan.