‘Eureka Moment’ dan Ceker Ayam Menjadi Sepatu

Penemuan. Itulah kata kunci dari kreativitas. Seorang doktor meraih prestasi akademiknya karena menemukan sesuatu dalam paparan disertasinya. Seorang wirausaha juga begitu. Penemuan baru, produk baru, adalah peluang baru.

Meskipun, tidak semua penemuan adalah hal yang benar-benar baru. Penemuan bisa merupakan hasil modifikasi dari temuan-temuan sebelumnya.

Dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan ‘eureka moment’ alias momentum ‘wow’.

Konon, Isaac Newton menemukan teori gravitasi setelah kepalanya tertimpa buah apel saat ngeteh di kebun milik keluarganya di Woolsthorpe, Inggris.

Begitu pula Archimedes yang menemukan hukum fisika bahwa sebuah benda mempunyai kepadatan/volume yang berbeda-beda, ketika dia sedang mandi dengan mencemplungkan tubuhnya ke bak mandi.

Tapi, apakah penemuan itu terjadi secara tiba-tiba. Sesungguhnya tidak. Cerita tentang ‘eureka moment’ itu sejatinya hanya bumbu-bumbu cerita belaka. Kalaupun terjadi, itu bukan kunci satu-satunya sebuah penemuan. Faktanya kedua ilmuwan itu melakukan penelitian yang begitu panjang untuk menemukan sebuah teori.

Ceker Ayam Menjadi Sepatu

Begitupun yang dialami Nurman Farieka Ramadhany, seorang wirausaha muda asal Bandung, Jawa Barat. Dia berhasil menemukan bahan sepatu yang kurang lazim digunakan sebelumnya: kulit ceker ayam.

Tidak ada ‘eureka moment’ seperti, “ketika dia makan ceker ayam lalu kulit cekernya jatuh ke sepatu.” Atau “ketika dia jalan-jalan, terus dia menginjak ceker ayam, dan dia bilang ‘wow bagus juga’,”

Tidak seperti itu prosesnya, dan memang tidak setiap penemuan harus melewati proses seperti itu.

Ide sepatu dari ceker ayam justru muncul karena keresahan Nurman dengan banyaknya penggunaan bahan kulit sepatu dari satwa langka seperti ular dan buaya.

Dia berpikir, sebetulnya motif kulit ceker ayam sama seperti kulit ular dan buaya yang banyak disukai orang. Hanya saja, jika ular dan buaya populasinya sedikit, tidak demikian dengan ceker ayam.

Ayam, sebagai salah satu pewaris gen dinosaurus pada pohon evolusi, memang menyisakan warisan reptil nenek moyangnya, yaitu pada kakinya. Corak ceker ayam mirip kulit ular dan buaya.

Tidak berhenti dengan keresahan, Nurman kemudian mendapatkan inspirasi ketika membaca jurnal kuliah milik sang Ayah.

Ayah Nurman memang pernah melakukan penelitian saat berkuliah di Politeknik Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta. Tema penelitiannya tentang kulit-kulit yang dapat dijadikan bahan produk fashion. Dalam penelitian tersebut, ceker ayam merupakan salah satunya.

Dia dan sang ayah sebetulnya sempat bereksperimen dengan kulit hewan lain seperti ikan nila, pari, kulit kodok hingga kulit bebek. Tapi, rupanya ceker ayam yang dianggap punya keunggulan. Selain coraknya sesuai, ceker ayam pun mudah diperoleh karena bagi sebagian produsen dianggap sebagai limbah.

Butuh eksperimen selama 3 tahun hingga Nurman menemukan formula yang tepat, dan kulit ceker ayam akhirnya bisa memiliki kekuatan serta warna yang bagus.

Kulit ceker ayam akan melalui tahap penyamakan. Butuh waktu 14 hari dengan campuran 7 bahan kimia, supaya kulit ceker ayam siap dijadikan bahan sepatu. Kulit ceker ayam bisa diberi warna tan, gold, navy, merah, coklat, hijau, atau warna aslinya.

Bahan lain yang digunakan juga tetap memperhatikan kualitas. Semisal alas sepatu dari fiber supaya ringan dan pemakaian bahan dari kulit sapi yang dibeli secara lembaran.

Proses pembuatan sepatu dari kulit ceker ayam boleh dibilang rumit dan memakan waktu. Namun demikian, bukan berarti Nurman harus menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Sejauh ini, harganya relatif terjangkau antara Rp500 ribu – Rp2 jutaan.

Kini, sepatu kreasi pemuda Bandung itu telah dipasarkan secara luas, tidak hanya di dalam negeri tapi juga hingga ke luar negeri seperti dari Hongkong, Singapura, Brazil, dan Jepang.

Nurman melabeli sepatunya dengan brand ‘Hirka’. Hirka diambil dari bahasa Turki yang artinya ‘dicintai’. Sebuah harapan agar produk-produk kreatifnya dicintai oleh masyarakat luas.

Nurman mulai mendirikan usaha sepatu sejak tahun 2016, di Bandung. Tapi awalnya dia membuat produk sepatu berbahan kanvas dengan desain costum.

Diera digital, Nurman juga rajin melakukan penjualan secara online baik lewat web maupun media sosial, selain dia juga rajin mengikuti pameran. Dengan omset sekitar 60 jutaan sebulan, usaha Nurman yang tergolong UMKM ini, tetap bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19.

Bagaimana? Anda juga tertarik mengembangkan produk-produk inovatif? Bersabar dengan proses, itu kuncinya. (berbagai sumber)

Baca Lainnya
Komentar
Loading...