Dilema Para Kombatan

Pemerintah Republik Indonesia sudah memutuskan tidak akan memulangkan warga negara Indonesia (WNI) kombatan yang terlibat Islamic State in Iraq and Syam (ISIS), setelah melewati perdebatan panjang di ruang publik.

Kini, mereka akan menentukan nasib sendiri sebagai warga stateless (tanpa kewarganegaraan). Mereka bakal mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum internasional.

Setelah dua ibu kota ISIS, Mosul di Irak maupun Raqqa di Suriah perlahan-lahan runtuh. Para milisi ISIS dan keluarganya kini menghadapi dilema. Mereka terlunta-lunta karena ditolak pulang ke negara asalnya.

Memang, bubarnya ISIS di Irak dan Suriah tidak menandai bahwa gerakan kelompok itu berhenti, mungkin mereka hanya mengubah strategi. Buktinya, setelah Irak dan Suriah yang dikuasai ISIS berhasil direbut kembali, keluar perintah agar para anggota mereka melakukan “perjuangan” di wilayah negaranya masing-masing.

Lalu muncul teror kota Marawi di Filipina oleh kelompok milisi Maute yang ternyata terafiliasi ISIS. Ini bukti bahwa sel-sel ISIS itu tetap hidup dan terus menyebar ke sejumlah negara. Sejumlah milisi yang bertempur di Marawi ketika itu disinyalir merupakan orang asing dari sejumlah negara di Timur Tengah dan Asia, mereka adalah kombatan perang yang mungkin melarikan diri dari Irak atau Suriah.

Pemulangan mantan kombatan ISIS ke negara asal menjadi masalah, sebab banyak negara, termasuk Indonesia, belum punya prosedur hukum yang jelas menangani mereka. Bagi Pemerintah RI, pemulangan WNI kombatan ISIS adalah dilema di antara isu hak asasi manusia dan isu keamanan negara.

Menjadi Dilema

Dilema itu misalnya, tentang aturan perundang-undangan di Indonesia yang belum memungkinkan aparat penegak hukum mengambil tindakan hukum terhadap WNI diduga terlibat radikalisme di negara lain.

Prosedurnya, Pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT) hanya bisa sebatas mengidentifikasi ketika mereka dipulangkan. Setelah itu, pemerintah memberi program deradikalisasi sebelum mereka dipulangkan ke daerah masing-masing.

Namun di pihak lain, ada konvensi PBB yang masih berlaku, yakni konvensi 1961 dalam Pasal 9 menyebutkan: “Suatu negara tidak dapat mencabut kewarganegaraan orang atau sekelompok atas dasar ras, etnis, agama atau politik.”

Beberapa negara memang mengusulkan agar konvesi PBB itu direvisi, karena tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman, terutama dalam upaya pemberantasan terorisme.

Tidak hanya Indonesia, negara lain seperti Prancis, Inggris, Tunisia, Rusia dan Amerika Seerikat juga mengalami masalah serupa karena undang-undang di negaranya masih belum mendukung prosedur yang jelas soal penanggulangan terorisme.

Kecuali Kanada, sebab pasca serangan teroris bulan Oktober 2014 di Canadian National War Memorial di Ottawa, negara ini mengubah Undang-undang Kewarganegaraan yang memungkinkan pencabutan kewarganegaraan bagi warga negara yang terlibat dalam terorisme.

Austria, Belgia dan Inggris juga telah merevisi undang-undang mereka yang mengizinkan pencabutan kewarganegaraan jika terkait terorisme.

Nah, bagaimana dengan Indonesia?

Kebijakan pencabutan kewarganegaan untuk teroris sebetulnya sudah jadi wacana panjang dan berlarut-larut dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Terorisme beberapa waktu silam, tapi rupanya wacana itu belum juga final.

Sampai akhirnya, pemulangan kombatan ISIS kembali menjadi dilema. Meski pemerintah sudah “ketok palu” tidak akan memulangkan mereka, tapi bagaimanapun, sebelum ada undang-undangnya, para WNI itu tidak bisa dicabut kewarganegaraannya, artinya mereka masih menjadi tanggung jawab Negara.

Baca Lainnya
Komentar
Loading...