Dhandhangan, Tradisi Peninggalan Sunan Kudus Yang Masih Lestari
Dandhangan merupakan salah satu media dakwah dari Sunan Kudus
“Sejak dulu Dhandhangan (Dandangan) berada di sekitar alun-alun Simpang 7 sampai Menara (Ngalap Barokahipun Kanjeng Sunan). Dandhangan merupakan salah satu media dakwah dari Sunan Kudus,” dawuh Kiai Sepuh Kudus Simbah Romo KH. Sya’roni Ahmadi.
Istilah Dhandhangan bagi masyarakat Kudus mungkin sesuatu yang tak asing. Namun bagi masyarakat luar Kudus istilah ini bisa jadi sesuatu yang sangat asing, bahkan tidak pernah mereka dengar.
‘Dandangan’ merupakan salah satu tradisi khas Indonesia untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang hanya bisa didapati di Kabupaten Kudus. Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun yang turun temurun dari zaman Kanjeng Sunan Kudus hingga sekarang.
Tradisi Dandangan adalah festival menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang pertama kali digaungkan oleh Kanjeng Sunan Kudus pada tahun 956 H.
Awalnya, tradisi ini merupakan tanda atau pengumuman awal masuknya bulan suci Ramadhan yang ditandai dengan pemukulan beduk oleh Kanjeng Sunan Kudus.
Kala itu, di depan Masjid Menara Kudus masyarakat, khususnya para santri berkumpul untuk menunggu maklumat masuknya awal puasa Ramadhan dari Kanjeng Raden Ja’far Shodiq atau biasa disebut Sunan Kudus.
Pengumuman itu disampaikan melalui pemukulan Bedug Masjid Menara yang berbunyi ‘dang…dang…dang’. Bunyi inilah yang menjadi awal munculnya istilah Dandangan di Kota Kudus.
Seiring berjalanya waktu, semakin banyak masyarakat yang berkumpul di Masjid Menara. Hal itu mengundang sejumlah pedagang untuk berjualan di sekitar masjid Menara Kudus.
Masyarakat tidak hanya berkumpul untuk menunggu pengumuman awal masuknya bulan suci Ramadhan, tetapi digunakan juga untuk mengais rezeki dengan berjualan berbagai macam barang ataupun makanan.
Tradisi Dandangan kini sudah tidak lagi digunakan hanya untuk menunggu ditabuhnya bedug sebagai pertanda awal masuknya bulan suci Ramadhan.
Kini Dandangan sudah menjadi tradisi yang tidak hanya dimiliki oleh kaum muslim saja. Tetapi masyarakat non-muslim pun turut suka cita dalam menyambut tradisi ini.