Covid-19: Kenapa Banyak Orang Tak Bisa Menerima Kenyataan

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga menunjukkan gejala mereda, justru semakin banyak orang yang tak bisa menerima kenyataan soal ganasnya pandemi tersebut.

Sebagian orang menganggap virus Corona bakal musnah dengan sendirinya, sebagian yang lain bahkan menganggap ini hanyalah konspirasi sejumlah pihak belaka.

Padahal Covid-19 ini nyata, dan saat ini jutaan nyawa manusia telah terinfeksi, dan belum ada tanda-tanda pandemi bakal segera mereda.

Sikap tidak bisa menerima kenyataan soal pandemi ini, akhirnya membuat sejumlah orang menolak untuk mengikuti tindakan pencegahan keselamatan kesehatan masyarakat, akibatnya justru lebih berbahaya bagi kehidupan.

Bagaimana ilmu psikologi memahami ini? Kenapa banyak orang yang masih belum bisa menerima bahwa dunia sedang dalam pandemi Covid-19.

Respon Psikologis

Penolakan semacam ini sebetulnya merupakan respons psikologis yang wajar. Ini semacam tindakan awal yang mewakili perasaan sedih seseorang. Sekaligus merupakan cara yang umum untuk mengatasi ketakutan akan kematian.

Secara umum, pada saat seseorang dihadapkan dengan keadaan yang sangat mengerikan, ia akan mengatakan, “Tidak mungkin, tidak mungkin ini terjadi.”

Penyangkalan sebetulnya merupakan cara otak kita melindungi kita dari merasakan dampak psikologis dan fisiologis dari sebuah kejutan sebelum kita siap.

Tapi sebetulnya, pikiran penolakan lambat laun dapat dilalui dan berubah menjadi penerimaan pada saat kita siap.

Nah, dalam kasus Covid-19, rupanya banyak orang terjebak di respon otak yang paling awal, yaitu menyangkal.

“Manusia mengalami semacam kehilangan, kehilangan kehidupan seperti yang kita ketahui (sebelumnya),” kata Dulcinea Pitagora, psikoterapis berbasis di New York City, sebagaimana dikutip mic.com.

Menurutnya, secara psikologis orang-orang takut akan kematian sehingga mereka menyangkal bahwa mereka bisa mati karena Corona. Tapi, perilaku penolakan tersebut justru malah berisiko meningkatkan kematian.

Kebanyakan orang yang tidak menerima kenyataan soal pandemi Covid-19 tidak aktif mencari risiko-risiko apa saja yang dapat terjadi, sebab mereka tidak menyadari adanya risiko tersebut.

Mereka seperti meyakinkan pada dirinya bahwa Corona itu tidak ada, atau tidak seekstrim yang dikatakan para ilmuwan. Mereka pun menolak protokol kesehatan dan juga menganggap tidak apa-apa orang-orang yang mengabaikan protokol kesehatan.

Mengapa orang tidak mau ikut aturan, meski untuk menjaga keselamatan diri sendiri?

Secara psikologis, ternyata orang-orang yang menyangkal fakta Covid-19 di dalam pikirannya, terjadi semacam defisit kognitif.

Memang, dibutuhkan banyak energi untuk bisa menghadapi kenyataan. Tetapi untuk menolak kenyataan juga butuh energi lebih banyak lagi.

Dalam psikologi, situasi ini disebut dengan hypervigilance dan peningkatan stres, yang menghabiskan banyak energi secara mental, sehingga menyisakan sedikit energi untuk fungsi kognitif lainnya.

Oleh karena itu, ada juga orang yang sebetulnya menyadari gawatnya situasi pandemi ini, tapi proses kognitifnya telah melambat sehingga mereka kurang memiliki kesadaran tentang perilaku berisiko.

Mereka akhirnya lebih banyak melakukan rasionalisasi terhadap perilaku berisiko terhadap kesehatan, karena mereka tidak memiliki sumber daya kognitif yang cukup untuk memikirkan semuanya.

Bisa jadi, karena stres sudah mulai melanda, mengingat pandemi Covid-19 telah berpengaruh besar terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Apalagi resesi ekonomi sudah nyata di depan mata.

Kembali pada Ajaran Agama

Agama mengajarkan sikap untuk menerima kenyataaan atau qadha dan qadar Allah, termasuk dalam situasi pandemi Covid-19 ini dan dampak-dampak yang ditimbulkannya.

Sebab, orang yang tidak dapat menerima kenyataan sejatinya adalah orang yang takut mengarungi kehidupan.

Agama melarang kita mengumpat keadaan dengan kalimat-kalimat buruk dan tidak bermanfaat. Agama menganjurkan kita untuk melakukan upaya-upaya, sebelum akhirnya kenyataan itu tiba.

Menyesuaikan diri dengan situasi Covid-19, seperti menaati protokol kesehatan, mencari berbagai alternatif untuk mempertahankan ekonomi, memastikan pendidikan tetap berlangsung, dan berbagai upaya lainnya adalah ikhtiar kita untuk beradaptasi dengan situasi.

Setelah itu, jika takdir berkata lain, kita diajarkan mengucap, “Hasbiyallahu wa ni’mal wakil.”

Artinya, “Cukuplah Allah bagiku dan ia sebaik-baik wakil.”

Anjuran ini didasarkan pada sebuah hadits dari Auf bin Malik ra bahwa Rasulullah Saw memutuskan perkara di antara dua orang. Orang yang berperkara ketika berpaling mengucap, ‘Hasbiyallahu wa ni‘mal wakil.’

Rasulullah kemudian bersabda, “Allah mencela kelemahan. Sebaliknya, kau harus kuat. Jika kau dirundung oleh suatu masalah, hendaknya mengucap, ‘Hasbiyallāhu wa ni‘mal wakil’,” (HR Abu Dawud, An-Nasai dan Al-Baihaqi).

Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, kalimat ini terpuji bila seseorang sudah mengerahkan upaya yang optimal sebelum kenyataan tiba. Tapi menjadi tercela menurut agama kalau hanya mengandalkan kalimat tersebut tanpa ada upaya atau ikhtiar.

Baca Lainnya
Komentar
Loading...