Cinta Itu Buta?
Seorang yang sedang jatuh cinta perhatiannya hanya akan terfokus pada yang dicintainya
Seorang yang sedang jatuh cinta perhatiannya hanya akan terfokus pada yang dicintainya. Ia cenderung selalu melihat pujaan hatinya sebagai sesuatu yang serba indah, istimewa dan sempurna hingga tak tampak sedikit pun cela padanya.
Lebih dari itu, ia menutup telinga dari komentar negatif orang lain tentang kekasihnya. Demikian kuatnya pengaruh cinta hingga muncullah semacam adagium dalam masyarakat bahwa “cinta itu buta!”
Ungkapan di atas senada dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 5130) dari Abu Darda’ Ra, bahwa Nabi Saw bersabda:
Hubbukasyai-a yu’mii wa yushim (Cintamu kepada sesuatu membuatmu buta dan tuli).
Secara redaksional-denotatif, hadits tersebut dipahami sebagaimana di atas, yakni bahwa cinta dapat membuat yang bersangkutan buta dan tuli sehingga tidak bisa mengetahui kejelekan dan keburukan orang yang dicintainya.
Atau juga berarti bahwa cintanya membuatnya buta dari melihat jalan kebenaran dan tuli dari mendengar suara kebenaran sehingga ia pun semakin jauh dari kebenaran itu sendiri. Ini terjadi saat dominasi cinta tidak terbentengi oleh akal dan agama (Madarij al-Salikin, 3/14).
Sementara itu, kaum sufi memiliki cara pandang berbeda dalam membaca teks-teks suci, termasuk dalam membaca hadis di atas. Kecenderungan sufistik-transendental dalam penafsiran mereka menyingkap makna-makna konotatif yang mendalam di balik teks.
Imam al-Junayd, misalnya, saat ditanya tentang maksud hadis di atas, ia menjawab bahwa seolah Nabi bersabda: “Cintamu kepada dunia dapat membuatmu buta dan tuli dari akhirat.” (al-Luma’, 164). Artinya, cinta dunia (hubbud dunya) dapat membentuk persepsi dan orientasi seseorang menjadi serba duniawi sehingga tidak lagi peduli pada kehidupan hakiki setelah mati dan kemaslahatan ukhrawi. Hatinya gelap oleh gemerlap semu dunia hingga tak mampu menangkap cahaya jalan yang mengantarkannya ke surga.
Lebih dalam, Ahmad al-Muqabili, sebagaimana dikutib Zayn al-Aydrus dalam al-Ma’ani al-Isyariyyah (364-365), memaknai hadis tersebut dalam konteks hubungan cinta seorang hamba dengan Tuhannya. Menurutnya, hadis di atas menegaskan bahwa seorang yang mencintai Allah maka ia akan buta dan tuli dari selain-Nya. Hatinya hanya sibuk, bergantung dan berharap pada-Nya, tidak pada selain-Nya. Ia tidak lagi sibuk berharap ganjaran, bidadari, istana dan segala kenikmatan ukhrawi lainnya. Bahkan tidak ingin surga dan tidak takut neraka. Yang terlihat, terdengar dan terasa hanyalah keagungan-Nya. Yang dicari dan diharapkan hanyalah keridaan-Nya.
Oleh karena itu, jika kita harus mencintai sesuatu ataupun seseorang, cintailah ia yang mampu membukakan penglihatan kita hanya pada-Nya dan membuat kita buta dari selain-Nya. Itulah yang disebut “cinta karena Allah”.