Cash is King?

Cash is King, ketiadaan kas bisa diartikan kiamat

Cash is King, begitu slogan terkenal yang sering kita dengar. Ketiadaan kas diartikan kiamat. Namun, jangan lupa sebenarnya bisnis tidaklah serta merta setara atau identik dengan kas. Bahkan laporan keuangan dibuat tidak berdasar kas, melainkan pengakuan (accrual). Karena itu perusahaan laba tidak serta merta pada saat itu memiliki kas.

PT A melakukan penjualan secara kredit, sedangkan PT B secara tunai dengan nilai yang sama Rp1000. Biaya bahan baku dan lain-lain sebesar Rp700. Kedua perusahaan tercatat mendapat laba Rp300, namun saat ini PT A tidak memiliki kas. Bagaimana jika biaya bahan baku PT A diperoleh atau dibayar secara tunai?

Dalam hal ini PT A ada pada situasi ‘berdarah’ arus kas negatif, dengan kata lain harus menyiapkan uang tunai sebesar Rp700. Darimana uang tersebut? Paling bagus, dari kantong sendiri. Untuk hal ini, berarti A harus ‘bermodal’. Jika tidak, maka berarti dari pihak eksternal.

Baca juga: Pengelolaan Resiko

Utang (pada bank) dapat menjadi pintu, tentunya pihak bank akan menagih secara rutin. Jangan salah, bank juga ditagih penabung yang akan mengambil uangnya.

Dengan demikian PT A tetap harus menyediakan uang untuk membayar utang tersebut. Bagaimana jika bahan baku tersebut, berutang pada supplier? Bisa jadi, tetapi pasti ada temponya, karena supplier juga memerlukan uang kas untuk keperluannya.

Mau tidak mau, PT A harus berkeras menagih sesuai termin waktu terhadap piutangnya. Ketidakberhasilan penagihan ini, akan sangat mengganggu bisnis sebagaimana uraian di atas.

Bagaimana jika PT A melakukan penjualan secara kas saja, tak usah memakai kredit? Tentunya baik, namun kadang tidak dapat jalan, karena bisa jadi konsumen hanya mampu membeli jika dicicil.

Baca Lainnya
Komentar
Loading...