Bung Hatta

Sejak awal saja namanya sudah menyiratkan nilai sufistik, yaitu Muhammad Hatta

12 Agustus adalah hari kelahiran Mohammad Hatta atau biasa disapa dengan Bung Hatta. Bung Hatta lahir tahun 1902 di Bukittinggi, artinya tahun ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-119. Beliau meninggal pada 14 Maret 1980 di RSCM Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta punya cara tersendiri mengenalkan sosok Bung Hatta kepada anaknya, yaitu melalui buku biografi.

“Hari ini adalah Hari Ulang Tahun Bung Hatta. Pada mereka diceritakan tentang pribadi berintegritas tinggi ini,” kata Anies, Kamis (12/8).

Anies kemudian menceritakan sosok Bung Hatta kepada salah satu anaknya, Ismail Hakim, yang saat itu sedang belajar jarak jauh dari kediaman pribadi mereka di kawasan Lebak Bulus.

Menurut dia, Bung Hatta adalah seorang intelektual pejuang yang menghibahkan hidupnya untuk memikirkan, memerdekakan dan memajukan bangsanya.

Bung Hatta juga dinilai memiliki komitmen terhadap keadilan sosial, demokrasi, peningkatan kesejahteraan yang dikerjakan dengan prinsip kolaborasi setara dan begitu banyak keteladanan darinya.

Aines mengakui, dulu saat duduk di bangku SMA dan masa kuliah dirinya membaca buku-buku tentang Bung Hatta di ruang kerja sang kakek, AR Baswedan.

Sang kakek kebetulan merupakan sahabat karib Bung Hatta sejak zaman pendudukan Jepang hingga akhir hayatnya.

Sementara itu, cendekiawan muslim Yudi Latief menyebut bahwa Bung Hatta merupakan seorang yang punya keyakinan keagamaan yang teguh.

Dia tidak menyerang dan mengancam keluar, tetapi membawa berkah pada kehidupan.

“Sebuah ekspresi keagaaman yang Hatta gambarkan sebagai ‘Islam garam’ dan bukan ‘Islam gincu’,” kata Yudi.

Menurut Yudi, kalau gincu orang tahu dari kejauhan warna gincunya tetapi tidak bisa merasakan. Tetapi kalau garam, orang tidak bisa melihat seperti apa keagamaan seseorang tetapi rasa dan manfaatnya bisa dirasakan oleh semua orang.

Hatta juga merupakan cucu dari Syekh Batu Ampar yang merupakan pengamal Tarekat Naqsabandiyah.

Tradisi keagamaan yang dibangun Hatta adalah tradisi sufistik yang lebih menekankan dimensi interior ketimbang eksterior. Lebih menekankan laku ketimbang ritualis.

“Bahkan, sejak awal saja namanya sudah menyiratkan nilai sufistik, yaitu Muhammad Hatta, diambil dari Muhammad Atha. Sama seperti pengarang dari kitab sufi terkenal al-Hikam bernama Muhammad Athaillah as-Sakandari,” kata Yudi.

Dengan tradisi tasawuf yang kuat, Hatta kemudian tetap bisa memiliki pergaulan yang luas tanpa pandang bulu.

Misalnya, ketika menempuh pendidikan di Eropa, Hatta tetap taat menjalankan shalat lima waktu. Tapi pada saat yang sama, juga mengembangkan pergaulan lintas, kultural, etnis, dan agama.

Hatta mampu bergaul dengan orang-orang dari Jawa, seperti Gunawan Mangunkusumo, Arnold Mononutu, A.A. Maramis, dan bahkan bersahabat dengan Jawaharlal Nehru, seorang penganut Hindu.

Hatta juga memiliki kedekatan dengan para ulama di masanya. Dia membangun jaringan yang luas dengan tokoh-tokoh pembaharuan di Sumatera Barat, seperti Jamil Jambek dan Abdullah Ahmad.

Di Jawa, Hatta juga banyak bergaul dengan tokoh-tokoh seperti Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto.

Yudi menceritakan fragmen kisah menarik saat Hatta kuliah di Belanda. Waktu itu teman-teman mahasiswanya sedang menunggu konser musik klasik di opera house di Jerman, mereka lalu pergi ke sebuah restoran.

Saat teman-temannya memilih memesan minuman beralkohol, Hatta tetap berpegang teguh pada keyakinannya untuk hanya memesan air es meskipun harga es di Eropa cukup mahal waktu itu.

“Ini menandakan betapa Hatta sangat memegang prinsip keyakinannya namun tetap rileks menghadapi perbedaan,” ujar Yudi.

Gagasan ekonomi koperasi yang diusung Bung Hatta juga tampak dekat dengan konsep ekonomi syariah yang dikenal sekarang. Sama-sama menekankan semangat kegotong-royongan.

#bunghatta #tasawuf #demokrasi

Baca Lainnya
Komentar
Loading...