Plastik sampai saat ini masih menjadi sampah yang tidak bisa diurai oleh tanah. Sebab itu, upaya meminimalisasi penggunaan plastik pun dilakukan, termasuk dengan peraturan dan perundang-undangan di sejumlah negara.
Di Indonesia aturan tidak boleh menggunakan kantong plastik sudah diberlakukan di tempat-tempat perbelanjaan seperti mal dan supermarket. Di sejumlah restoran dan kafe, sedotan plastik juga sudah tidak lagi digunakan. Tapi, apakah manusia bisa hidup tanpa plastik? Bukankah dulu, plastik ditemukan untuk justru membantu manusia?
Menjawab pertanyaan ini, sejumlah ilmuwan berlomba melakukan penelitian. Dari mulai mencari bahan pengganti plastik yang mudah diurai, hingga merekayasa bakteri yang bisa menghancurkan plastik di alam.
Beberapa di antaranya adalah dua perempuan asal Hongaria bernama Liz Madaras dan Krisztina Levay. Mereka berdua mendirikan perusahaan startup Poliloop. Perusahaan ini bergerak di bidang teknologi hayati, yang salah satunya mengembangkan bakteri pemakan plastik. Mereka menyebutnya dengan ‘bacteria cocktail’ atau ‘koktail bakteri’
Mengutip Reuters, bakteri ini bisa memakan plastik dan mengurainya dalam beberapa minggu saja, tanpa adanya pengolahan secara kimia sebelumnya.
Bahan koktail ini untuk sementara masih dirahasiakan oleh perusahaan, tapi CEO Poliloop, Liz Madaras, mengatakan akan dapat diproduksi secara massal. Ini merupakan langkah yang sangat signifikan dalam mengurangi sampah plastik secara global.
“Kami melihat polusi sampah plastik sebagai masalah yang sangat relevan. Jadi kami memutuskan untuk mencoba menggabungkan bioteknologi dan teknik kimia untuk membuat media yang benar-benar dapat membawa plastik kembali ke siklus hidup alami seperti semula,” jelas Liz.
Liz menjelaskan bagaimana proses bakteri penguraian plastik ini bekerja. Setelah dua minggu proses dilakukan, maka dihasilkan serpihan plastik.

Serpihan itu kemudian menjadi “lumpur” cair berwarna coklat pada akhir minggu ketujuh.
Uji laboratorium awal menunjukkan bahwa lumpur tersebut aman digunakan sebagai pupuk.
“Proses degradasinya sangat mirip seperti daun-daun yang menghilang dari musim gugur ke musim semi. Kumpulan mikroba membiodegradasi mereka. Dan inilah yang kami lakukan,” kata Liz.
Dia berharap, jika ini berhasil dalam skala besar maka bisa berdampak secara global, karena permasalahan plastik selama ini adalah bahwa plastik akan bertahan di lingkungan kita untuk selama-lamanya.
Begitu plastik dapat diurai, membawanya kembali ke lingkungan alam, plastik bakal menjadi bagian dari alam lagi, dan menjadi bagian dari sistem daur ulang global.
Memang sudah ada beberapa upaya dari pihak lain yang berhasil secara global mengurai plastik, tapi menurut Liz, Poliloop akan bisa mengurai semua jenis plastik termasuk kemasan multilayer dan plastik campuran.
Poliloop sudah berinvestasi untuk membangun pabrik pertamanya di Hongaria di mana mereka akan menguji penguraian dalam skala yang lebih besar.
Upaya yang dilakukan peneliti Indonesia
Sementara itu, peneliti asal Indonesia di Aachen juga tengah mengembangkan bakteri pencerna plastik.
Mengutip dw.com, peneliti di Institut of Applied Microbiology Universitas RWTH Aachen Jerman, Romualdus Nugraha Catur Utomo, mengembangkan bakteri yang mampu mengkonsumsi monomer plastik sebagai sumber karbon pengganti glukosa. Dia yakin penelitiannya dapat membantu menyelesaikan persoalan sampah di Indonesia, khususnya sampah plastik.

Data BPS menyebut, di tahun 2016 saja timbunan sampah Indonesia sudah mencapai angka 65.200.000 ton per tahun. Angka ini diprediksi terus bertambah hingga mencapai 2.2 miliar ton per tahun di 2025.
Celakanya, menurut penelitian Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, pada tahun 2010 ada sekitar 4,8-12,7 juta ton sampah plastik di Indonesia terbuang dan mencemari laut. Indonesia pun akhirnya tercatat sebagai negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia setelah China.
Menurut Nugraha, setelah mengalami proses adaptasi dan rekayasa genetika, bakteri yang dikembangkannya itu bakal mampu mengkonsumsi monomer dari plastik Polyurethane (PU) seperti styrofoam dan plastik Polyethylene Therepthalate (PET) seperti plastik untuk otomotif, kedokteran, dan bangunan.
Prosesnya, setelah bakteri mampu memanfaatkan monomer plastik sebagai sumber karbon, bakteri tersebut juga memiliki potensi untuk memproduksi senyawa kimia bermanfaat.
Bakteri yang telah dikembangkan itu juga mampu memproduksi biosurfaktan, salah satunya Rhamnolipid yang aplikasinya beragam. Rhamnolipid sendiri bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan, bahan baku kosmetik, pestisida alami, dan tentu saja sebagai pengganti sintetik surfaktan yang penting untuk bahan baku detergen agar lebih ramah lingkungan.
Bahkan, Nugraha menginginkan proyek tersebut lebih variatif salah satunya menghasilkan methylketone yang menjadi komponen penting untuk produksi biodiesel, serta menjadi komponen dasar dalam produksi bahan-bahan kimia.
Penelitian dan penemuan tersebut membuktikan bahwa ilmu pengetahuan sejatinya sangat mampu menjawab persoalan yang dihadapi oleh manusia. Mungkin nanti plastik tidak lagi menjadi problem manusia, sebagai sampah yang tidak dapat diurai dan membahayakan.