Benarkah Tarekat Tak Ajarkan Etos Kerja?
Ajaran tarekat dinilai bersebrangan dengan budaya kerja keras, benarkah demikian?
Sering kali masih ditemukan etos kerja dihadap-hadapkan dengan nilai dalam ajaran tarekat. Ajaran tarekat dinilai bersebrangan dengan budaya kerja keras. Tak mampu mendorong orang untuk memiliki etos kerja.
Tarekat seakan-akan ditempatkan hanya memiliki semangat dalam dimensi dan ruang ibadah ritual sehingga lemah dalam semangat bekerja. Benarkah demikian?
Etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Maka etos kerja akan tumbuh sesuai dengan nilai dan keyakinan yang dipegangnya. Inilah yang kemudian setiap kelompok atau bangsa akan memiliki etos kerja yang berbeda-beda sesuai kultur, nilai, norma dan kebiasaannya.
Lalu Bagaimana dengan Tarekat?
Tarekat ialah jalan yang ditempuh menuju Allah oleh Al ‘Arifin (mereka yang ma’rifatullah) dan kemudian diikuti oleh para murid. Tarekat juga merupakan metode atau cara bagaimana menjadi hamba Allah yang dicintai dan diridhai-Nya berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah serta petunjuk ulama (guru Mursyid) sebagai pelanjut fungsi Rasulullah.
Tarekat juga memiliki bentuk persaudaraan sesama pengamal tarekat yang ditandai dengan lembaga yang terorganisir, zawiyah, ribath, ma’had dan lain sebagainya.
Pertama, jalan yang ditempuh Al Arifin atau ulama sufi adalah jalan yang mendekatkan orang kepada sunnah dan menekankan untuk meninggalkan yang haram, syubhat, makruh bahkan yang mubah namun berlebihan dan tidak prioritas secara sungguh-sungguh.

Sedangkan etos kerja adalah masalah kesungguhan dan semangat. Sejak awal para pengamal tarekat berbaiat agar memiliki tekad dan kesungguhan. Kesungguhan itu bukan hanya dalam melaksanakan kewajiban dan memenuhi hak namun juga bersungguh-sungguh meninggalkan keburukan. Sedangkan malas bekerja dan bekerja dengan lunglai adalah hal yang buruk.