Apa Salahnya Menjadi Petani?

Petani dikesankan oleh sebagian orang sebagai profesi kelas bawah atau setidaknya dianggap pekerjaan yang kurang bergengsi. Sebab itu, anak muda atau kalangan milenial jarang sekali mau memilih profesi ini.

Tapi apakah benar kesan demikian? Yang jelas, salah besar jika petani dianggap sebagai profesi rendahan. Sebab pada kenyataannya dari tangan petani-lah kebutuhan pangan manusia dihasilkan. Artinya, petani merupakan profesi mulia.

Namun jika dikatakan bahwa pertanian, khususnya pertanian skala kecil, kadangkala kurang diuntungkan secara ekonomi, bisa jadi benar. Sebab seringkali petani dihadapkan dengan problem pemasaran hasil pertanian yang kerap kurang menguntungkan.

Alternatif di tengah pandemi

Di tengah pandemi Covid-19, pertanian justru menarik banyak orang yang terpaksa “banting setir” akibat dampak virus asal Wuhan China ini. Ternyata, di tengah gelombang PHK sejumlah perusahaan di kota, meredupnya bisnis pariwisata dan anjloknya sektor ritel, pertanian masih menjanjikan harapan.

Kenapa demikian? Dalam situasi bagaimanapun orang pasti butuh makan, dan tak bisa dipungkiri sumber bahan makanan itu berasal dari sektor pertanian. Maka sektor ini sejatinya tidak akan terhenti oleh krisis. Terlebih, pada saat impor bahan makanan dari luar menjadi sulit, maka pertanian lokal menjadi harapan.

Tak heran, jika banyak orang saat ini kembali melirik lahan pertanian sebagai sumber kehidupan. Di Bali Selatan misalnya, orang-orang yang awalnya merantau ke kota Denpasar untuk bekerja di sektor pariwisata, kini terpaksa pulang kampung. Maklum sektor pariwisata merupakan yang paling parah terkena dampak pandemi.

Sampai di kampung, sang kepala desa mengajak mereka untuk kembali bertani, bidang yang selama ini ditinggalkan lantaran pariwisata lebih menggiurkan.

Ini terjadi salah satunya di Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali.

Sebagaimana laporan Kompas, di desa ini awalnya kebun-kebun tak terurus meski ada beraneka ragam tanaman seperti mangga, kelapa, mete, dan lontar. Pandemi Covid-19 membuat mata mereka kembali terbuka bahwa potensi lahan pertanian di desa mereka selama ini terabaikan.

Dari catatan, sekitar 40% warga Desa Tembok memilih merantau ke Bali selatan untuk bekerja di bidang pariwisata. Dan setelah pandemi, mereka pulang ke kampung sebagai pengangguran.

Kini, mereka yang sudah lama tak bertani kembali mengolah lahan, menyemai bibit, merawat tanaman, hingga memanen hasilnya. Kini sudah ada sekitar 2,5 hektare lahan yang kembali ditanami dan sudah mengalami 6 kali panen. Modalnya dari Anggaran Dana Desa (ADD).

Kini, orang-orang yang pada mulanya stres sebab tidak punya penghasilan akibat di-PHK, mulai kembali percaya diri dengan hasil pertanian mereka. Kendatipun jumlahnya belum sebesar yang didapat ketika bekerja di sektor pariwisata.

Tapi meski pendapatan lebih sedikit mereka merasa cukup, karena dengan hidup di desa pengeluaran menjadi lebih kecil ketimbang di kota.

Bahkan sekarang, masyarakat Desa Tembok berkeinginan membangkitkan kembali kejayaan sektor pertanian di desanya seperti yang pernah diraih pada era 80-an hingga 90-an.

Menembus pasar global

Pertanian di era 4.0 tentu saja berbeda dengan pertanian konvensional. Cara pemasaran yang kreatif dengan memanfaatkan platform digital tidak saja membuat hasil-hasil pertanian bisa dijual dengan harga yang pantas bahkan bisa bersaing mengisi pasar global.

Petani ubi jalar di Bandung Jawa Barat misalnya, mampu memasarkan hasil pertanian mereka hingga ke Hong Kong.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media, beberapa waktu lalu Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil baru saja melepas ekspor 30 ton ubi jalar jenis rancing produksi petani Desa Pinggirsari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung ke Hong Kong.

Nantinya, ubi jalar jenis ini akan dikirim secara bertahap setiap bulan selama satu tahun dengan total ekspor mencapai 360 ton. Inilah bukti bahwa di tengah lesunya perekonomian akibat Covid-19 sektor pertanian mampu bertahan, bahkan bisa mengekspor.

Ubi jalar jenis ini akan memenuhi kebutuhan warga Hong Kong sebagai bahan tepung, kue, es krim dan beragam produk olahan lainnya.

Di Gunungkidul, Yogyakarta anak milenial yang menjadi petani juga terus meningkat. Hal ini seiring dengan sektor pariwisata di daerah tersebut yang mulai berkembang. Para petani milenial yang usianya antara 30-40 ini mengembangkan pertanian dengan sistem agrowisata.

Mereka mengembangkan pertanian seperti semangka, tomat, cabai, dan sebagainya di lahan-lahan yang terkenal tandus itu. Berbeda dengan di Bali, para pemuda Gunungkidul ini bertani bukan karena pandemi, tapi memang sudah lama mereka memilih pulang kampung untuk bertani.

Konsep agrowisata mereka pilih untuk mengurangi pembelian tengkulak yang biasanya membeli hasil panen dengan harga murah.

Contoh-contoh di atas menunjukkan, jika sektor pertanian dioptimalkan, tentu dengan ilmu pengetahuan modern dan pemasaran digital akan sangat membantu perekonomian masyarakat, terutama di tengah bencana wabah Covid-19 ini.

Jadi, apa salahnya beradaptasi di tengah pandemi dengan mencoba menjadi petani?

Di samping itu, pertanian atau bercocok tanam mendapat perhatian penting dalam Islam. Sejak 14 abad silam, Islam sudah menganjurkan kepada umatnya bercocok tanam serta memanfaatkan lahan secara produktif.

Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang Muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian hasil tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan (tanaman tersebut) menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari).

Baca Lainnya
Komentar
Loading...