Anthropo-Centric dan Allah-Centric
Seorang antroposentris tidak percaya adanya kekuatan di luar dirinya
1. Anthropo-Centric
Dalam bahasa Latin, manusia disebut anthropo. Dari situlah muncul istilah anthropo-centric: manusia sebagai pusat. Antroposentris dalam ejaan Indonesia.
Ketika seseorang meyakini bahwa manusialah pusat segalanya–atau pusat alam semesta sebagaimana yang diajarkan Renaisans Barat—pada akhirnya orang itu memikirkan sendiri semua masalahnya: kesehatannya, pendidikannya, keluarganya dan masyarakatnya.
Seorang antroposentris tidak percaya adanya kekuatan di luar dirinya –kekuatan metafisika—yang bisa membantu mereka mengatasi semua problematika kehidupan.
Semua masalah pun tersedot ke dalam dirinya. Ketika problematika kian terakumulasi dalam dirinya, kian menumpuk, dia mulai mengeluh. Ketika sampai pada suatu titik di mana ia tak kuat lagi menampung semua persoalan, dia kolaps, depresi, stres, akhirnya hancur.
2. Allah-Centric
Ada juga orang yang menjalni hidupnya dengan prinsip laa Ilaaha Illallah. Laa Ilaaha: Tiada Ilah, tiada yang dipuja, tiada yang dia cintai, tiada yang dia segala-galakan, Illallah: kecuali Allah.
Saat dia meniadakan yang lain, lepaslah semua bebandari dirinya. Ketika dia melepaskan diri dari kungkungan masalah di sekitarnya, lepaslah dia dari beban dunia. Dia keluar dari belenggu, melesat dan mendekat kepada Allah.
Orang-orang seperti ini sadar jika bukanlahdirinya yang menjadi pusat segalanya. Ia menjadikanAllah sebagai pusat. Sebagai Yang Maha Menentukan. Dia mendekat kepada Allah.
Inilah yang disebut Allah-sentris. Bahasa ilmiahnya adalah teosentris.Bahasa agamanya adalah tauhid. Allah pusat segala-galanya. Untuk itu, semua beban dalam dirinya dia lepas, pasrah pada Allah Azza wa Jalla.